Industri manufaktur kimia menempati posisi kelima dalam prioritas pengembangan industri manufaktur Indonesia sesudah industri makanan-minuman, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), industri otomotif, dan industri elektronika. Produk industri manufaktur kimia dibutuhkan oleh banyak industri lain, namun masih banyak “pekerjaan rumah” untuk mengembangkan industri manufaktur kimia.
Sebuah negeri yang maju memerlukan industri manufaktur yang kuat. Beberapa tahun terakhir ini Pemerintahan Presiden Joko Widodo, dalam hal ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin), memprioritaskan pengembangan industri kimia sebagai bagian dari industri manufaktur, karena produk industri kimia dapat digunakan secara luas oleh sektor lain.
Industri kimia telah lama menopang kebutuhan manusia akan bahan-bahan sintetis. Seperti diketahui, bahan sintetis mempunyai keunggulan dibanding bahan alami dalam kemudahan memperoleh sifat-sifat bahan yang diinginkan. Dewasa ini sebagian kebutuhan umat manusia dapat dipenuhi melalui industri kimia, mulai dari tekstil, peralatan transportasi (ban, komposit karbon pada badan kendaraan), peralatan elektronik (IC dan sebagian besar komponen elektronika), teknologi komunikasi (kabel serat optik), obat-obatan, bahan bangunan, hingga peralatan rumah tangga. Sudah barang tentu perkembangan industri kimia membawa perubahan yang besar dalam kehidupan, oleh karenanya disebut sebagai revolusi industri.
Industri kimia di Indonesia telah dimulai sejak orang-orang Belanda membangun pabrik gula pada abad ke-19. Pabrik gula telah mengubah struktur masyarakat di Indonesia yang semula agraris beralih menjadi masyarakat industri. Selanjutnya dibangun jaringan kereta api untuk mengangkut hasil produksi pabrik gula ke pelabuhan-pelabuhan untuk dikirim ke Eropa. Dalam perkembangannya, dibangun pula pabrik-pabrik yang lain, di antaranya pabrik pengolahan karet.
Setelah Revolusi Kemerdekaan, industri kimia terus berkembang. Diawali dengan pembangunan pabrik-pabrik modern berupa pabrik abu soda dan pabrik fosfat, yang kemudian diikuti dengan pembangunan pabrik-pabrik lain. Akan tetapi, produksi industri kimia di Indonesia masih terbilang relatif kecil bila dibandingkan dengan industri-industri lain, misalnya makanan-minuman, tembakau, pertanian, maupun manufaktur lain. Juga relatif kecil bila dibandingkan dengan industri kimia di negeri-negeri maju.
Kendala
Bachtiar Murtanto (2013) menyebutkan bahwa kendala terbesar yang dihadapi industri kimia di Indonesia adalah:
1) Tidak adanya keterkaitan industri kimia mikro dan kecil dengan industri sedang dan besar. Dalam struktur industri modern, industri mikro dan kecil seharusnya berfungsi sebagai pendukung/penunjang terhadap industri sedang dan besar. Sebaiknya, industri sedang dan besar berfungsi sebagai penyedia pasar yang kontinu bagi hasil industri kecil dan mikro. Justru yang terjadi adalah persaingan perebutan pasar dan bahan baku di antara industri-industri skala kecil/mikro dengan industri sedang/besar. Hal ini menghambat perkembangan kedua belah pihak.
2) Lemahnya struktur industri hulu-hilir Di negeri-negeri maju industri kimia saling kait-mengait sehingga output dari satu pabrik dapat digunakan sebagai input oleh pabrik lain. Dengan demikian, akan tercipta mata rantai panjang industri kimia yang berimplikasi pada peningkatan nilai tambah pada barang. Bila dilihat dari begitu besar nilai impor bahan kimia di Indonesia, industri kimia masih belum mampu mewujudkan integrasi antar sub-subsektor industrinya. Hal ini mengakibatkan lemahnya industri di Indonesia karena secara langsung menciptakan ketergantungan bahan baku dari impor.
3) Kurangnya daya saing baik dari segi kualitas maupun harga. Kualitas hasil industri kimia di Indonesia kurang dapat diterima di pasar luar negeri. Hal ini disebabkan secara tidak langsung oleh buruknya sistem perizinan dan besarnya investasi yang harus dikeluarkan dalam mendirikan pabrik kimia sehingga investor cenderung mempertahankan teknologi yang sudah ada untuk jangka waktu yang lebih lama. Di sisi lain, dengan kebergantungan bahan baku dari impor, jelas akan menambah biaya yang harus dikeluarkan. Sudah pasti ini akan memengaruhi harga jual produk.
Upaya
Pemerintah terus mendorong pertumbuhan industri kimia agar menjadi sektor penggerak perekonomian nasional. Sebab, industri kimia berperan penting dalam memasok kebutuhan bahan baku bagi sektor manufaktur lain. Dengan penguatan struktur dan peningkatan daya saing industri kimia, diharapkan dapat membangun industri manufaktur nasional yang kompetitif di kancah global. “Upaya yang dilakukan tersebut agar Indonesia dapat mengurangi impor bahan kimia dasar. Oleh karena itu, kami terus menarik investasi, meningkatkan kapasitas produksi, serta membangun kemampuannya untuk menjadi net eksportir dan produsen bahan kimia spesialis,” kata Menteri Perindustrian waktu itu, Airlangga Hartarto, pada tahun 2018.
Airlangga Hartarto menyebut bahwa salah satu produk strategis industri kimia dasar adalah metanol yang membutuhkan ketersediaan gas alam sebagai bahan baku, dan perlu mendapat dukungan dari pemerintah. Dengan dukungan pemerintah berupa penyediaan harga gas yang kompetitif, daya saing industri kimia nasional diyakini akan semakin meningkat.
Airlangga menggarisbawahi bahwa industri kimia masuk dalam lima sektor manufaktur yang akan menjadi percontohan dalam implementasi Industri 4.0 di Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan langkah strategis yang perlu dilakukan, yakni membangun industri kimia dengan biaya kompetitif dan memanfaatkan sumber daya migas, serta optimalisasi lokasi zona industri. “Salah satunya adalah pembangunan lokasi produksi kimia yang lebih dekat dengan lokasi ekstraksi gas alam. Selain itu, mengadopsi teknologi Industri 4.0 sekaligus mempercepat kegiatan penelitian dan pengembangan untuk mendorong produktivitas dan mengembangkan kemampuan produksi kimia generasi berikut dalam produksi biofuel dan bioplastik,” paparnya.
Sepanjang tahun 2019 lalu industri kimia, farmasi, dan obat tradisional bertumbuh sebesar 8,38 persen yang didorong oleh peningkatan produksi bahan kimia, barang dari kimia, serta produk farmasi, obat kimia, dan obat tradisional.
Sehubungan dengan pandemi Covid-19, belum lama ini Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan bahwa di tengah pertumbuhan ekonomi yang mengalami kontraksi pada triwulan II 2020, sektor industri manufaktur yang masih mencatatkan kinerja positif yaitu industri kimia, farmasi, dan obat tradisional yang tumbuh 8,65 persen. Capaian itu meningkat dibanding triwulan I 2020 yang tumbuh 5,59 persen, yang mana akselerasi pertumbuhan sektor industri kimia, farmasi, dan obat tradisional ini didukung karena peningkatan permintaan terhadap obat-obatan atau suplemen dalam upaya menghadapi pandemi Covid-19.
Majulah industri kimia Indonesia. ***
(Dari berbagai sumber) (PX)
Sumber foto utama: berita satu
Artikel ini dimuat pada Majalah Parahyangan Vol. VII No. 4 / 2020 / Okt - Des