Ketika masuk dalam sebuah permainan, apakah kita belajar sesuatu? Permainan bukanlah sekadar permainan. Ada aturan, peran, kesepakatan, dan juga kesenangan di dalamnya. Istilah language-game dimunculkan Ludwig Wittgenstein pada 1953. Ini bukan berarti bahwa bahasa hanyalah permainan, tetapi bahwa makna kata tergantung pada penggunaan dan konteksnya. Dalam penggunaan paling sederhana, bahasa adalah kekuatan analogi yang membebaskan.
Wajib Belajar
Pernah ada program Wajib Belajar yang dicanangkan pemerintah untuk anak-anak dalam rentang usia tertentu. Nama program itu agak ‘menakutkan’, sebab mengandaikan semacam konsekuensi kalau tidak diikuti. Atau, setidak-tidaknya bisa membuat para orang tua segera berpikir tentang fasilitas “lain-lain” yang harus dibeli supaya anak-anak bisa mengikutinya. Ketika melihat anak-anak ramai masuk sekolah dengan seragam yang masih baru, senangkah kita? Jawabannya bisa mendua, antara senang dan tetap berpikir soal apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika masuk kelas dan belajar, anak-anak mulai menyadari bahwa cara mengajar guru yang berbeda-beda membentuk persepsi mereka tentang ‘belajar’. Dan hal pertama yang diasosiasikan dengan belajar, celakanya, adalah menghafalkan.
Mentalitas menghafalkan tersebut sangat susah diperbaiki. Faktor aturan, peran, kesepakatan, dan kesenangan yang di atas kita temukan dalam language-game hilang. Yang tersisa adalah kertas kosong yang setiap hari diisi dengan pengetahuan demi pengetahuan. Proses pembelajaran seperti ini melelahkan, dan suatu saat akan menjadi penyebab kondisi burnout dalam proses pembelajaran di tahap-tahap selanjutnya. Ungkapan populernya ialah bahwa belajar sudah tidak fun atau tidak menyenangkan lagi. Itu konsekuensi bawaan dari semangat sebuah program yang ingin mewajibkan pembelajaran.
Mungkin bukan programnya yang salah, melainkan metodologinya atau desain prosesnya yang seharusnya meliputi pemilihan metode-metode tertentu agar dipergunakan oleh para guru. Para guru pun hasil dari proses pendidikan yang menekankan metode menghafalkan. Menghafalkan sebetulnya adalah metode, tetapi bukanlah satu-satunya metode, dan bukan pula yang terbaik. Bukankah hafal tidak sama dengan ‘mengerti’? Hasil dari aktivitas menghafalkan tampaknya mengagumkan, dan para guru pun tersenyum bangga karena merasa berhasil mendidik murid sesuai target. Akan tetapi, soalnya akan lain kalau hasil didikan ini diminta menjelaskan dengan bahasanya sendiri atau membuat analogi-analogi baru guna mengembangkan gagasan.
Ide untuk mewajibkan belajar mungkin berangkat dari keprihatinan ketika melihat potensi anak-anak yang belum dikembangkan secara maksimal. Akan tetapi, mewajibkan suatu proses pembelajaran pasti akan membawa efek samping yang langsung berkaitan dengan sifat ‘wajib’ itu. Ada yang berdalih bahwa awalnya pembelajaran perlu diterapkan sebagai kewajiban, supaya terbentuk dasar yang kuat selanjutnya. Akan tetapi, setelah diwajibkan—dengan metode satu arah dan menghafalkan tadi—proses pembelajaran tidak pernah ditinjau ulang lagi. Ide awal yang baik suatu saat dibiarkan telanjur dan pada level universitas, perkuliahan diwarnai sifat ‘wajib’ berikut metode lama yang tidak sesuai lagi.
Mewajibkan aktivitas belajar kepada mahasiswa kadang-kadang masih dijumpai di masa kini. Kita tahu bahwa konsekuensi keputusan semacam ini bakal berbuntut panjang. Ide awal program Merdeka Belajar—lawan dari Wajib Belajar?—juga bagus, yakni memberi ruang dan pilihan untuk belajar dari dalam diri mahasiswa sendiri. Akan tetapi, kelanjutan program ini bisa menjadi problematik apabila akhirnya terkesan diwajibkan. Tampaknya kita punya masalah dengan ‘membahasakan’ suatu ide agar bisa terwujud dan diminati banyak orang.
Belajar Sebebasnya?
Sudah ada berbagai upaya untuk mengembalikan faktor kesenangan (fun) dalam proses pembelajaran. Sebagian dosen berjuang dengan cara-cara yang kreatif untuk menumbuhkan motivasi meneliti dan berdiskusi di kalangan mahasiswa. Ruang kelas (virtual) adalah salah satu tantangan, tetapi sekaligus adalah kesempatan untuk meningkatkan persiapan mengajar. Apa yang dulu cenderung “masuk-kelas-saja” kini harus disiapkan dan dicatat dengan baik secara daring agar terekam oleh sistem.
Namun, ada sesuatu yang hilang. Interaksi dosen-mahasiswa kini hampir nol, sebab perkuliahan cenderung bersifat satu arah. Pertanyaan dan rangsangan ide dari dosen sering tidak bersambut di kelas virtual. “Diam adalah aman”. Apakah masih ada kebebasan belajar, ketika fungsi pemantauan tidak berjalan? Memberi tugas mandiri kepada mahasiswa kadang-kadang dianggap sebagai cara untuk memberi ruang bagi kreativitas, tetapi sayangnya, yang terakhir ini tidak muncul. Ruang yang dimaksud untuk menumbuhkan motivasi belajar itu berubah menjadi ‘kebebasan’ dalam arti yang kontraproduktif. Dalam terang gagasan language-game Wittgenstein, “Bebas!” bisa berarti macam-macam: bebas dari kewajiban belajar, bebas untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan, bebas dari pengawasan dosen, bebas dari tekanan untuk berpikir, bebas yang benar-benar semaunya, dan silakan dilanjutkan sendiri. Belajar sebebasnya berarti belajar semaunya.
Kita tidak akan mampu menciptakan kebebasan untuk belajar, apalagi mewajibkan sebuah motivasi yang bebas dalam diri siapa pun. Tidak juga dengan sebuah program yang terdengar cemerlang. Proses pembelajaran ternyata tidak dapat diatur dengan mencoba-coba, apakah mungkin dengan program ini atau dengan program itu. Akibat dari pola pikir semacam ini ialah kebingungan dan kekacauan, persis di dalam sistem yang selama ini sebetulnya sudah menunjukkan kemajuan berarti. Dalam dunia pendidikan tinggi, menggulirkan program baru hampir selalu membawa kebingungan dan keresahan. Para penggiat pendidikan bukanlah ‘objek’ yang bisa dipakai untuk bereksperimen. Kalau ada perubahan yang hendak diupayakan, kita tidak bisa tiba-tiba menjatuhkan ide yang sama sekali baru—kendati cemerlang!—di tengah sistem yang sudah berjalan.
Faktor mendasar yang sering kali kurang diperhitungkan ialah faktor manusia yang belajar. Setidak-tidaknya, pernahkah kita ‘bertanya’ kepada para mahasiswa tentang apa yang bisa diupayakan agar motivasi belajar tumbuh dan mereka semakin mempunyai pilihan belajar? Ketika kita masih kecil—di masa itu, ajaibnya, dunia kita masih dekat dengan permainan—mempelajari segala sesuatu terjadi dengan cara yang menyenangkan. Keingintahuan seorang anak kecil sangat mengagumkan! Dan kita bisa memerhatikan proses pembelajaran yang terjadi: itu membebaskan dirinya.
Belajar yang Membebaskan
Jangan-jangan, belajar yang membebaskan adalah sebuah gerakan “dari bawah”, dan bukan “dari atas”. Imaji ‘permainan’ berasal dari imajinasi seseorang yang dekat pada realitas dan kehidupan sehari-hari. Manusia adalah homo ludens yang menemukan unsur kesenangan (fun) dalam kehidupannya. Kehidupan tidak dilihat sebagai sebuah proyek, melainkan ruang untuk ‘bermain’ dan mengaktualisasikan gambaran diri. Kalau kita belajar dengan senang hati, niscaya tidak akan ada perasaan terbebani ataupun diawasi.
Proses pembelajaran yang yang terinspirasi keingintahuan anak kecil diarahkan pada perluasan cakrawala. Barangkali sifatnya tidak sekadar memperdalam pengetahuan, melainkan terutama menemukan berbagai keterkaitan. Merangsang keingintahuan mahasiswa berarti menumbuhkan motivasi untuk belajar secara mandiri, untuk melihat relevansi bidang ilmu yang dipelajarinya dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan, untuk mengeksplorasi berbagai analogi baru lintasilmu yang akan melahirkan inovasi-inovasi segar. Sampai sekarang dunia pendidikan tinggi masih belum membuka ruang-ruang perjumpaan antarbidang ilmu secara maksimal. Padahal, Thomas Kuhn sudah lama mengungkapkan dahsyatnya paradigm shift (1962) yang memicu kemajuan revolusioner di bidang-bidang ilmu. Keingintahuan bertumbuh dalam interaksi dengan orang-orang yang mempelajari bidang-bidang lain. Dalam konteks pembelajaran, kebebasan belajar bisa terwujud manakala terjadi perluasan cakrawala keilmuan, dan ketika keingintahuan ditumbuhkan dalam setiap interaksi.
Proses belajar yang membebaskan mungkin masih berupa bayangan yang kabur. Keinginan untuk cepat-cepat menyukseskan sebuah program, apalagi yang sifatnya “dari atas”, bisa memelintir makna kebebasan. Biasanya kita sendiri akan kehilangan motivasi untuk berinisiatif dan terlibat dalam sebuah kegiatan kalau pertemuan-pertemuannya tidak lagi ‘menyenangkan’. Demikian pula, proses pembelajaran dan pemelajaran di pendidikan tinggi bisa dirasa membebani daripada membebaskan, ketika ada capaian-capaian yang hendak dipaksakan. Mungkin kini adalah saat yang tepat untuk meninjau ulang suasana akademis yang merupakan habitat proses pendidikan. Dibanding metode, suasana akademis lebih berkaitan dengan interaksi, aktivitas berbagi, dan iklim “belajar bersama”—hal-hal yang lebih fun.
Dr. Hadrianus Tedjoworo, OSC, S.Ag., STL., dosen teologi dogmatik dan filsafat di Fakultas Filsafat, Unpar. Sarjana filsafat dan teologi Fakultas Filsafat, Unpar; Lisensiat Teologi Dogmatik Katholieke Universiteit Leuven (KUL) Belgia; Doktor Teologi Gereja Radboud Universiteit Nijmegen (RUN) Belanda.
Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik, Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, dan adalah chief editor jurnal internasional filsafat dan teologi MELINTAS.
Sumber foto utama: beritakaltim.co
Artikel ini dimuat pada Majalah Parahyangan Vol. VIII No. 3 / 2021 / Jul - Sept