Efektifkah? Tes Potensi Skolastik

Hendak lebih memperkuat penalaran, Kemdikbudristek secara resmi menghapus Tes Kemampuan Akademik (TKA, tes mata pelajaran), dan menggunakan Tes Potensi Skolastik (TPS) saja dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Efektifkah?

 

Menurut World Population Review 2022, nilai rata-rata Intelligence Quotient (IQ) penduduk Indonesia 78,49. Skor itu menempatkan Indonesia di posisi ke-130 dari 199 negara yang diukur. Pengamat pendidikan Ina Liem mengatakan bahwa sistem pendidikan berpengaruh terhadap pencapaian kecerdasan masyarakatnya. “Memang IQ dipengaruhi banyak faktor termasuk genetika, asupan gizi, dan lain-lain. Tapi kurikulum pendidikan yang mengedepankan kemampuan memecahkan masalah bisa meningkatkan IQ,” terang Ina. Menurutnya, selama ini kurikulum pendidikan di Indonesia lebih mengutamakan hafalan ketimbang mengasah kemampuan pemecahan masalah.

Skor IQ itu tampaknya beriringan dengan skor Programme for International Student Assessment (PISA). Hasil studi PISA 2018 yang dirilis oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca meraih skor rata-rata 371, yang mana rata-rata skor OECD adalah 487; ini menempatkan Indonesia di urutan ke-74 dari 79 negara/kawasan yang mengikuti. Adapun skor rata-rata matematika mencapai 379, yang mana skor rata-rata OECD 487; ini menempatkan Indonesia di posisi 73. Selanjutnya, untuk sains, skor rata-rata mencapai 389, yang mana skor rata-rata OECD 489; ini menempatkan Indonesia di posisi 71.

Walaupun IQ dan PISA bukan segalanya, namun skor keduanya memberikan tantangan kepada kita bangsa Indonesia.

 

Hanya Tes Potensi Skolastik

Belum lama ini Kemdikbudristek secara resmi menghapus Tes Kemampuan Akademik (TKA, tes mata pelajaran), dan hanya menggunakan Tes Potensi Skolastik (TPS) dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Dengan demikian, peserta seleksi diharapkan lebih fokus pada pembelajaran, penguasaan materi, kemampuan bernalar, kemampuan literasi dan numerasi yang lebih mendalam, serta kemampuan untuk memanfaatkan pengetahuan di dalam menyelesaikan berbagai permasalahan secara lintas keilmuan.

(Sumber: detik.com)

“Siapa pun dengan kurikulum apa pun bisa mengikuti seleksi masuk ke perguruan tinggi negeri sesuai dengan skema seleksi yang baru. Justru salah satu latar belakang di balik perubahan transformasi ini tentu juga untuk bisa mengakomodasi pergerakan kurikulum, di samping mentransformasi pembelajaran di SMA,” kata Plt. Dirjen Diktiristek, Prof. Nizam. (Kompas.com, 27/09/2022).

Adapun materi TPS terdiri dari empat bagian, yaitu: 1) Potensi Kognitif, 2) Penalaran Matematika, 3) Literasi dalam Bahasa Indonesia, dan 4) Literasi dalam Bahasa Inggris.

Tidak semua orang setuju dengan kebijakan Kemdikbudristek tersebut. Terutama mereka khawatir bahwa penghapusan Tes Kemampuan Akademik (TKA) akan membuat siswa kurang memperhatikan mata pelajaran di sekolah. Selain itu, untuk belajar pada program studi tertentu di perguruan tinggi memerlukan bekal pengetahuan dari mata pelajaran yang relevan di sekolah. Tetapi, Kemdikbudristek memandang bahwa penghapusan TKA, dan penggunaan TPS saja, diharapkan akan lebih memperkuat penalaran, lebih mengakomodasi keragaman, dan mengukur kapasitas individu untuk mempelajari hal-hal baru.

 

SAT dan ACT di Amerika Serikat

Di Amerika Serikat apa yang dinamakan Scholastic Aptitude Test (SAT) dimulai sejak tahun 1926. Namanya kemudian diubah menjadi Scholastic Assessment Test, lalu diubah menjadi SAT I: Reasoning Test, lalu the SAT Reasoning Test, dan kemudian the SAT. SAT terdiri dari: 1) tes membaca, 2) tes menulis dan bahasa, dan 3) tes matematika. SAT banyak digunakan sebagai seleksi masuk perguruan tinggi di Amerika Serikat dan bahkan di luar Amerika Serikat.

Menyaingi SAT, sejak tahun 1959 mulai dikembangkan apa yang dinamakan American College Testing (ACT). ACT terdiri dari: 1) tes bahasa Inggris, 2) tes matematika, 3) tes membaca, dan 4) tes sains, serta esai yang bersifat opsional. SAT dan ACT merupakan alternatif satu sama lain. Telah dilakukan konkordansi skor SAT dan skor ACT sehingga skor SAT dan skor ACT dapat “dikonversikan” satu sama lain.

 

“ … penghapusan TKA, dan penggunaan TPS saja, diharapkan akan lebih memperkuat penalaran, lebih mengakomodasi keragaman, dan mengukur kapasitas individu untuk mempelajari hal-hal baru.”

 

Setelah bertahun-tahun menggunakan SAT dan ACT, belakangan ini tengah berlangsung polemik di Amerika Serikat tentang keefektifan SAT atau ACT dalam seleksi masuk perguruan tinggi. Dahulu dianggap relatif bagus sebagai prediktor kesuksesan studi di perguruan tinggi, belakangan ini SAT dan ACT dievaluasi secara kritis. Keduanya dinilai bias terhadap tingkat pendapatan keluarga, gender, dan ras. Saat ini semakin banyak college dan university yang tidak mensyaratkan SAT atau ACT, termasuk universitas-universitas kelas dunia.

 

Evaluasi dan perbaikan menerus

Selamat datang SNBT melalui TPS saja. Saya mengharapkan Kemdikbudristek, terutama Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BP3), secara periodik melakukan evaluasi dan perbaikan. Walaupun keadaan Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat, namun polemik yang sedang berlangsung di sana perlu disimak secara cermat sebagai bahan pemikiran untuk masa mendatang.

 

Krismastono Soediro, Kepala Kantor Yayasan Universitas Katolik Parahyangan; menulis sejumlah buku populer. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

 

Sumber foto utama: NCSA

 

Artikel ini dimuat pada Majalah Parahyangan Vol. X No. 1 / 2023 / Jan - Mar