Kata dengan Huruf Besar

Abad ke-21 ini mungkin boleh dikatakan abad STEAM yang berangkat dari STEM. Sisi artistik yang menyelip dalam kata ‘A’ melahirkan sebuah keisengan yang bermanfaat. Kreativitas semacam ini berpotensi mengatasi masalah yang muncul dari keterbatasan manusia yang bukan hanya bias, tetapi juga “bising”.

 

Sebuah kata tidak pernah terasa aneh bagi Anda dan saya, kecuali saat sang kata yang dikatakan menyimpan keajaibannya sendiri. Claude Gagnière adalah seorang “isengolog” – “pakar keisengan” yang mencoba mengumpulkan dengan jahilnya hal-hal yang kerap terlewatkan dari catatan kaki sejarah. Anda mungkin masih mengenal kata “filateli” (kolektor perangko) – terutama bila Anda generasi yang beruntung di mana saat masa kecil telepon pintar masihlah fiksi ilmiah dan telepon secara harafiah masih jinak dan terikat di dinding. Namun menariknya, Gagnière justru mengajukan 42 macam “-ili”, “-om”, dan “-is” yang lain yang mungkin terdengar absurd bagi kita di abad ini.

Ada glakofili – penggemar kemasan yoghurt yang biasa kita temui di supermarket. Ada pula siderofili – kolektor setrika yang biasa kita akrabi sebelum pergi bekerja. Ada juga fibulanom – orang yang mengumpulkan kancing yang tidak pernah asing bagi kita. Bahkan ada pula kukurbitasis – orang yang gemar mengumpulkan label yang biasa ditemukan di buah-buahan yang menemani asupan nutrisi kita setiap pagi sebelum beraktivitas.[i] Daftar ini belum berakhir, menurut hemat penulis. Selamat manusia masih ada, keisengan seperti ini hanya dibatasi oleh langit dan imajinasinya yang tak mengenal tepi.

STEAM adalah sebuah kata penuh nuansa keisengan yang berarti uap: uap yang mengepul agar lokomotif peradaban bisa bergerak. Dengan kepulannya yang tanpa henti manusia bisa bergerak pelan tapi pasti di atas rel peradaban yang membuat Anda dan saya merasa asing saat mendengar bahwa di abad ke-20 yang lalu kita masih “menulis surat di atas selembar kertas” dan “mengetik akta kelahiran dengan mesin ketik”, sembari “mengetikkan pesan di sebuah penyeranta” (Anda mungkin pernah ingat kata “pager”) dan “menonton film di televisi berantena”. Science, technology, engineering, art, dan mathematics adalah ilmu, teknologi, teknik, seni, dan matematika yang membuat “popok kain” tinggal sejarah – dan bahkan mungkin sebentar lagi, “mobil bensin” hanya bisa dijumpai di museum-museum yang kosong dan berdebu.

Dari mana gerak pesat lesat peradaban ini? Filsuf Roger Penrose mencatat otak manusia terdiri dari sekitar 7 kali 1010 sel saraf di wilayah serebrum, dan 3 kali 1010 di cerebellum – “amunisi” untuk berpikir dan berimajinasi. Selanjutnya Penrose menengarai bahwa gerak pemikiran umat manusia menuju sebuah titik Platonis: saat konsep dan kebenaran matematis menghidupi sebuah ruang non-spasio-temporal: yang bebas lepas dari kungkungan ruang dan kekangan waktu. Kesadaran kita manusia dengan demikian menjadi sesuatu yang sifatnya matematis dan dibantu-bahasakan lewat proses komputasi (meskipun perlu dicatat bahwa bagi Penrose manusia masih memiliki kesadaran yang sifatnya independen).[ii] Singkatnya, seturut argumen Penrose realitas kita masih merupakan sebuah realitas yang dapat dibahasakan oleh otak kita dengan simbol-simbol yang kita kenal dalam matematika – yang menjadi roh dari ilmu, teknologi, teknik, dan bahkan seni di abad ke-21 ini.

Lepas dari identifikasi yang diberikan Penrose, STEAM adalah bahasa baru abad ke-21 ini: sebuah cara untuk berbicara. Cara bicara kita, bagi filsuf Martin Heidegger, sangat lekat dengan kehadiran “Saying”. Saat kita berkata-kata (Saying – dengan huruf ‘S’ kapital), kita membahasakan realitas. Saat manusia berbicara dalam kehidupannya, manusia mempertunjukkan (Showing – juga dengan huruf ‘S’ kapital) dunia hidupnya. Saat manusia berbicara, manusia menunjuk-hadirkan sang diri: memanifestasikan keberadaan dirinya.[iii] Bila STEAM menjadi cara bicara kita, maka kehadiran kita dalam ilmu pengetahuan-teknologi-teknik-seni-matematika menjadi sebuah keharusan untuk berkata-kata dan mempertunjukkan diri kita.

Masalah dari abad ini adalah kebisingan yang memekakkan telinga eksistensial kita. Manusia, bagi Daniel Kahneman, Olivier Sibony, dan Cass R. Sunstein dalam tulisan Noise, A Flaw in Human Judgement, adalah makhluk “bising”. Bising berbeda dengan bias.[iv] Manusia memang pasti bias, namun Kahneman dan timnya menambahkan bahwa biasnya keputusan manusia masih ditambah dengan kecenderungannya untuk mengubah keputusannya hanya berdasarkan hal-hal yang remeh dan sederhana. Keputusan hakim, misalnya, dipengaruhi oleh kebisingan: penelitian Kahneman dan kawan-kawan meriset bahwa saat cuaca panas terik hakim menjatuhkan vonis yang lebih berat dibandingkan saat keputusan yang sama diberikan saat hari dijelang mentari sejuk pagi dan semarak kicauan burung (Kahneman et al: 2021, 90).

Singkatnya, manusia yang selalu bising cenderung untuk mengubah keputusannya tanpa alasan yang jelas (Kahneman et al: 2021, 80) Bahkan di saat bersama dengan yang lain (crowd), kebisingan manusia menjelma menjadi sesuatu yang berisik. Keputusan manusia akhirnya menjadi lotre – sebuah undian yang tidak kita bisa duga dan reka. Masalahnya, kebisingan ini menjadi titik lemah manusia dalam memanusiakan dirinya. Alih-alih konstruktif memanusiakan sisi manusianya, kita menjadi destruktif dan impoten dalam mengartikulasikan keunggulan kita, yang dibahasakan oleh pemikir Henning Beck sebagai jenius tak henti-hentinya menelurkan konsep yang mustahil direplikasi oleh mesin secanggih apa pun.

STEAM menjadi cara kita untuk meredam kebisingan – terutama saat kita dihadapkan pada taruhan dalam skala superfisial seperti kabar bohong yang merusak kualitas demokrasi Indonesia dan skala eksistensial seperti pemanasan global yang memengaruhi sekitar 7,4 miliar manusia yang ada di atas permukaan planet ini. Kita mungkin dengan isengnya menghadirkan akronim lima huruf ini, namun “uap” peradaban yang dihasilkannya mutlak kita perlukan. Manusia sekarang tidak bisa lagi membiarkan dirinya menjadi “berisik” bagi yang lain. Kita perlu sebuah formasi terstruktur yang mampu membuat diri kita konstruktif bagi yang lain. Untuk itulah, kita memerlukan melimpahnya energi peradaban ini.

 

Mardohar B.B. Simanjuntak, S.S., M.Si., Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, saat ini aktif mengajar mata kuliah Globalisasi dan Studi Ideologi di Fakultas Filsafat, dan Logika serta Bahasa Indonesia di Lembaga Pengembangan Humaniora (LPH). Koordinator Mata Kuliah Umum Bahasa Indonesia, juga aktif di berbagai forum-forum kebudayaan dan seni. Anggota CPCReS (pusat studi filsafat, kebudayaan dan agama Fakultas Filsafat Unpar) dan Pusat Studi Pancasila Unpar. Konseptor acara Afternoon Tea di Selasar Sunaryo Art Space.

 

[i] Claude Gagnière, Tout sur Tout (France Loisirs, Paris:1986) hal. 62.

[ii] Roger Penrose, Shadows of the Mind (Vintage Books, London:2005) hal. 43 dan 50-51. Penrose mengatakan: “We shall find ourselves driven towards a Platonic viewpoint of things”.

[iii] Martin Heidegger, On the Way to Language (Harper One, New York:1971) hal. 126. Heidegger: “Saying sets all present beings free into their given presence […]”.

[iv] Daniel Kahneman et al, Noise, A Flaw in Human Judgment (William Collins, London:2021)

 

Sumber foto utama: belajarsampaimati.com

Artikel ini dimuat pada Majalah Parahyangan Vol. IX No. 1 / 2022 / Jan - Mar