Dalam pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketika semua seolah berlomba untuk jadi yang pertama dalam prestasi dan inovasi, seringkali banyak permasalahan moral yang justru semakin berkembang. Terlalu berfokus pada pemikiran terkadang membuat orang menjadi terlalu kritis, terlalu perhitungan, tapi lupa bahwa pemikiran juga perlu diimbangi dengan keterlibatan perasaan untuk menjadi manusia utuh yang berakal-budi: berakal dan berbudi.
Dalam ilmu psikologi, manusia pada dasarnya memiliki 3 aspek yang saling berkaitan dan saling memengaruhi, yaitu: pikiran, perasaan, serta perilaku/perkataan. Dengan berlombanya orang-orang untuk berprestasi dan berinovasi, pikiran dan tindakan seringkali lebih mendapatkan sorotan, tapi perasaan lupa untuk diperhitungkan. Padahal harmonisasi ketiganya akan memunculkan integritas yang sesungguhnya: konsistensi serta keselarasan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan/dikatakan, yang semakin sulit ditemukan di masa kini dan perlu perhatian khusus agar tidak berlanjut hingga ke masa mendatang.
Oleh sebab itu, kita juga perlu mempelajari berbagai cara untuk bisa mengolah ketiga aspek psikologis tersebut. Cara yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan menjalin relasi dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial kita, sebab dengan menjalin relasi dan membangun komunikasi dengan lingkungan kita, kita mampu untuk melatih ketiga aspek dalam diri kita (pikiran, perasaan, dan perilaku) secara bersamaan. Salah satu keterampilan penting terkait perasaan yang sangat perlu untuk dikembangkan adalah kemampuan untuk berempati.
Selayang pandang tentang “Empati”
Empati berasal dari kata empatheia yang berarti “ikut merasakan.” Istilah ini, pada awalnya digunakan oleh para teoretikus estetika untuk pengalaman subjektif orang lain. Kemudian sekitar tahun 1920-an, seorang ahli psikologi Amerika, E. B. Tichener, untuk pertama kalinya menggunakan istilah “mimikri motor” untuk istilah empati yang menyatakan bahwa empati berasal dari peniruan secara fisik atas beban orang lain yang kemudian menimbulkan perasaan serupa dalam diri seseorang. Secara umum, empati berarti kemampuan untuk mengenali, memahami, dan berbagi pemikiran dan perasaan orang lain, hewan, atau lingkungan sekitar kita.
Terkait dengan ketiga aspek psikologis dalam diri seseorang, empati juga dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu: (1) Empati Kognitif, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain dan melihat dari perspektif mereka, yang merujuk pada bentuk empati yang paling rasional; (2) Empati Afektif merujuk pada sensasi dan perasaan yang dirasakan sebagai respons terhadap kondisi emosional orang lain, atau juga merasa terganggu ketika mendeteksi perasaan atau kegelisahan orang lain (suatu bentuk empati secara emosional ketika seseorang masuk ke dalam pengalaman subjektif orang lain); serta (3) Empati Konatif (konatif: kecenderungan berperilaku), yaitu ketika seseorang melakukan sesuatu seolah-olah ia sedang berada di posisi orang lain untuk membantu memahami suatu situasi karena pengertiannya terhadap perasaan orang tersebut.
Dalam bukunya, Goleman menjelaskan adanya lima elemen kunci dari empati, yaitu: (1) Understanding Others – yaitu merasakan perasaan dan perspektif orang lain, juga berperan aktif dalam mengamati apa yang dipedulikan orang lain; (2) Developing Others – yaitu bereaksi terhadap kebutuhan orang lain, lalu membantu mereka untuk mengembangkan potensi dirinya secara maksimal; (3) Having a Service Orientation – aspek ini utamanya terdapat dalam situasi kerja, artinya mendahulukan kebutuhan pelanggan dan mencari jalan untuk memperbaiki kepuasan serta loyalitas pelanggan; (4) Leveraging Diversity – yaitu mampu untuk menciptakan dan mengembangkan kesempatan melalui berbagai jenis orang, menerima bahwa semua orang membawa perbedaan di dalam satu kelompok; serta (5) Political Awareness – artinya dapat merasakan dan menanggapi suatu arus emosional dalam suatu kelompok dan juga mengenali arus hubungan kekuatan di dalamnya.
Relevansi empati dalam berbagai aspek kehidupan
Meski sederhana, empati ternyata memiliki dampak yang luar biasa bagi diri kita, maupun bagi sesama dan lingkungan kita. Empati bagi diri kita sendiri ternyata mampu mempertajam pemahaman kita tentang identitas diri sendiri. Untuk bisa berempati, kita perlu belajar juga mengenali pikiran dan perasaan kita sendiri, agar mampu berempati dengan tepat terhadap orang lain atau lingkungan sekitar. Mengembangkan keterampilan berempati juga membantu kita untuk tidak bersikap egois dalam memandang kehidupan kita.
Dalam relasi sosial secara umum, empati dapat membantu kita menciptakan komunikasi dan relasi yang sehat dengan orang-orang di sekitar kita. Empati dapat membuat kita mampu menjadi pendengar yang aktif tanpa berusaha menilai, menghakimi, bahkan menasehati secara impulsif. Dengan berempati, kita juga bisa belajar untuk membantu orang lain dan lingkungan sekitar kita sesuai dengan apa yang mereka butuhkan untuk bisa mengatasi permasalahan mereka.
Dalam bidang pendidikan, baik untuk pengajar maupun pelajar, empati semakin diperlukan dalam upaya mencapai keberhasilan proses pembelajaran. Dari sisi pengajar, empati pada seorang pengajar dapat menjadi indikasi dari kesadaran dan identitas diri yang sehat, menunjukkan adanya kematangan kognitif dan afektif dalam memahami, mencintai, dan menghargai orang lain, serta kesiapan untuk saling mengembangkan dengan orang lain. Dari sisi pelajar, menurut banyak ahli psikologi pendidikan, empati menjadi salah satu karakteristik pelajar yang sukses (selain berpengetahuan, mampu menentukan diri dan strategis) (Kusmanto, 2011).
***
Meski empati memiliki berbagai dampak positif bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitar kita, perlu diwaspadai pula bahwa empati yang berlebihan, justru akan memberikan dampak negatif bagi diri dan sesama. Bagi diri sendiri, terlalu berempati dapat membuat kita menjadi kelelahan secara fisik maupun mental, sebab terlalu berempati dapat membuat kita justru mengabaikan pikiran, perasaan, dan kebutuhan diri kita sendiri. Apalagi bila ternyata, empati kita disalahgunakan oleh orang lain. Bagi orang lain, bila kita terlalu berlebihan dalam berempati terhadap orang lain, justru akan membuat orang lain merasa tidak nyaman karena kita dianggap terlalu ikut campur atau terlalu melewati batas privasi mereka. Dengan kata lain, terlalu berempati justru dampak memberikan efek negatif sebab kita menjadi tidak memiliki batasan antara diri kita dengan orang lain atau lingkungan yang memengaruhi munculnya perasaan empati kita. Itulah sebabnya empati juga perlu dievaluasi dan dilatih terus-menerus, sehingga kita dapat memiliki keterampilan berempati yang tepat, yang tidak merugikan diri sendiri juga sesama kita serta mampu membuat kita dan lingkungan kita saling mengembangkan satu sama lain.
“No one cares how much you know, until they know how much you care.”
― Theodore Roosevelt
***
Referensi:
Maria T. Puspaningsih, S.Psi., psikolog, Dosen Etika Dasar dan Logika Lembaga Pengembangan Humaniora Universitas Katolik Parahyangan, konselor yang menangani mahasiswa maupun karyawan (termasuk dosen dan warga Universitas Katolik Parahyangan) yang membutuhkan bantuan terkait masalah psikologis.
Sumber foto utama: artificialintelligenceindonesia
Artikel ini dimuat pada Majalah Parahyangan Vol. VIII No. 1 / 2021 / Jan - Mar