Liberal Arts, Bagi Pendidikan yang Kritis dan Demokratis

Transformasi itu nyata dan menyenangkan. Namun di sisi lain, bisa menjadi momok menakutkan termasuk juga bagi lembaga pendidikan. Maka wajar jika sebuah tranformasi perlu navigasi. Menyoroti kebutuhan pedagogi dalam konteks revolusi industri keempat, kolaborasi interdisipliner menjadi sangat penting guna menjawab tantangan automasi, kreativitas, dan rasa ingin tahu. Otomasi adalah realitas nyata untuk siapa pun di dunia pendidikan. Ini adalah area di mana perubahan, bahkan pilihan yang jelas dan nyata bagi disiplin ilmu yang berada dalam rumpun STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana nasib liberal arts?

Disiplin ilmu liberal arts diprediksi menjadi semakin penting di era revolusi industri keempat karena otomasi membutuhkan lebih dari sebelumnya di mana individu mengembangkan fleksibilitas kognitif dan kebiasaan berpikir abstraksi yang memungkinkan pembelajaran seumur hidup. Kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru, menerima keterampilan baru, dan mengatasi perubahan sosial yang berkelanjutan akan menjadi penting di revolusi industri keempat ini.

Ide liberal arts muncul dari zaman Yunani klasik yang disebut paideia sebagai kiblat sistem pendidikan dengan visi yang jelas, yakni mengupayakan manusia ideal atau lebih luas dipahami sebagai pendidikan warga negara yang bebas, yang harus bekerja bagi sebuah kehidupan. Institusi pendidikan kiranya terus mengupayakan akses ke pendidikan liberal arts yang mengedepankan otonomi dan kebebasan berpikir, peka terhadap persoalan kemanusiaan, dan mempersiapkan generasi saat ini dengan kemampuan berpikir abduktif.

Dunia filsafat Yunani kuno membandingkan liberal arts (artes liberales) dengan seni pertukangan atau apa yang kita sebut dengan pendidikan kejuruan saat ini. Dalam bahasa Latin, kata "seni" mengacu pada dua kata yaitu seni itu sendiri dan sains. Kultur Yunani klasik yang dibangun pada masa Isocrates dan Plato membaginya ke dalam tujuh bidang pelajaran dengan capaian mulai yang disebut aretê (keutamaan, kebajikan). Tata bahasa, kemampuan berbicara (retorika), logika, berhitung (matematika), geometri (ilmu ukur), astronomi, dan musik merupakan tujuh bidang pelajaran yang selanjutnya terbagi ke dalam dua kelompok, yakni: Trivium dan Quadrivium.

Jika ditarik ke dalam konteks pendidikan saat ini, ketika orang berbicara tentang liberal arts, pada umumnya merujuk pada pendidikan sarjana yang menekankan studi luas tentang seni dan sains daripada pelatihan praprofesional seperti bisnis, hukum, kedokteran, atau teknik. Kajian liberal arts kemudian ditempatkan dalam kolaborasi multidisipliner yang termanifestasi dalam berbagai bentuk riset dan pengabdian masyarakat.

Pendidikan untuk menjadi warga negara yang baik kerap diposisikan sebagai capaian bidang ilmu liberal arts. Pengembangan keterampilan public speaking, mempraktikkan seni berdiskusi, kolaborasi, dan negosiasi mendorong peserta didik untuk mampu memperdebatkan (baca: kritis) hal-hal yang penting bagi publik dengan mengedepankan akal sehat (logis). Disiplin ilmu liberal arts kiranya dilihat sebagai disiplin ilmu yang menyiapkan generasi yang kritis, inovatif, kreatif, thinking out of the box, dan selalu terbuka terhadap berbagai perspektif. Pendidikan liberal arts juga mempersiapkan peserta didik untuk hidup dengan bijak dalam masyarakat multikultural atau kosmopolitan dengan membuat mereka sadar akan keragaman budaya dan kebutuhan untuk membangun komunikasi efektif lintas budaya.

Peserta didik belajar mengevaluasi ide-ide baru dengan data faktual, merumuskan opini, bukan membuat asumsi. Sokrates mengatakan, “Hidup yang tidak diperiksa (direfleksikan) tidak layak dijalani.” Kalimat Socrates ini, seyogianya mau mengatakan bahwa liberal arts membuat kita sadar akan pentingnya memeriksa prasangka dan asumsi kita sendiri dengan mengembangkan kebiasaan kesadaran diri dan autokritik. Singkatnya, liberal arts membuka ruang eksplorasi yang luas bagi pembentukan karakter berpikir.

Rumpun disiplin libersl arts juga tidak terlepas dari kritik. Kritik terbesar karena dianggap kurang vokasional dan pragmatis bagi dunia kerja. Terkadang kritik ini merupakan hasil dari kesalahpahaman tentang arti “seni” itu sendiri. Padahal pendidikan liberal arts dapat dan seringkali mencakup pendidikan ilmiah dan teknis.

Pertanyaan penting bagi cakupan pendidikan yang lebih umum dan luas adalah apakah pendidikan interdisipliner benar-benar mempersiapkan siswa untuk kehidupan yang lebih baik?

Lembaga pendidikan mungkin perlu bertanya kepada para peserta didik, apakah jenis pendidikan yang ditawarkan, diprogram, dan dianggap legal benar-benar mempersiapkan mereka untuk kehidupan sebagai warga negara yang aktif atau apakah itu hanya membuat mereka siap untuk berpartisipasi dalam elit global yang dicirikan oleh jasa konsultan dan bisnis investasi yang senang mempekerjakan kaum fresh graduate? Menurut saya, liberal arts menjadi jembatan lembaga pendidikan untuk mempersiapkan peserta didik yang tidak hanya sukses dalam jaringan korporasi bisnis tetapi juga untuk menjadi bagian dari warga bangsa yang kritis dan demokratis. 

 

Willfridus Demetrius Siga, S.S., M.Pd., Dosen Fakultas Filsafat – Lembaga Pengembangan Humaniora Aktif sebagai pengajar, penulis, dan peneliti ilmu-ilmu humaniora.

 

Sumber foto utama: earthstarfreedom.com

Artikel ini dimuat pada Majalah Parahyangan Vol. VIII No. 2 / 2021 / Apr - Jun