Mempersiapkan Kecakapan Peserta Didik di Masa Depan

Perkembangan dunia yang pesat saat ini tidak terlepas dari globalisasi. Globalisasi merujuk pada keterkaitan dan ketergantungan negara dan manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, dan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Batas-batas teritorial yang memisahkan manusia menjadi bias.

Globalisasi adalah proses sosial yang melibatkan manusia di mana pun mereka berada semakin terikat satu sama lain, menyingkirkan batas-batas geografis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Mereka membuat tatanan masyarakat yang baru.Setiap manusia dan bangsa di dunia tidak dapat melepaskan diri dari globalisasi. Pengaruhnya sudah demikian kuat dan mengakar sehingga manusia dan setiap bangsa harus siap untuk menghadapi globalisasi kalau tidak ingin tertinggal oleh bangsa lain. Arus teknologi informasi dan perkembangannya memengaruhi kehidupan dan budaya manusia. Kecepatan laju ilmu pengetahuan dan teknologi membuat manusia bekerja lebih cepat memenuhi tuntutan globalisasi.

Thomas L. Friedman dalam bukunya “The World is Flat” menguraikan bahwa semua bangsa mendapatkan kesempatan bersaing yang sama. Setiap individu dan bangsa harus bersikap kompetitif di pasar global di mana sejarah dan geografis menjadi tidak relevan. Ketika dunia menjadi datar, orang tidak dapat menghindar. Where are we when the world went flat?

Sebagai warga dunia, bangsa Indonesia juga tidak mungkin menghindari kecepatan perkembangan teknologi informasi dan harus masuk dalam pasar global. Hal ini bertujuan supaya bangsa kita tetap bertahan dan mengikuti perkembangan global. Globalisasi telah memaksa setiap bangsa dan warga negaranya untuk berperan serta aktif agar mereka tidak tertinggal.

Persoalan mempersiapkan peserta didik supaya dapat bersaing secara positif dalam tataran global menjadi perhatian bagi segenap pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Pengamat dan praktisi pendidikan sepakat bahwa hidup di masa depan tidak hanya berbekal pengetahuan melainkan juga kecakapan. Kecakapan menjadi modal dasar supaya orang dapat hidup tidak hanya di tataran lokal melainkan bersaing secara global dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan bersama. Uraian di bawah ini adalah beberapa hal mendasar yang harus diwujudnyatakan demi mempersiapkan kecakapan para peserta didik terjun dalam dunia global.

Pendidikan berwawasan global

Pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan untuk mempersiapkan para peserta didik memaksimalkan kemampuan yang dimilikinya dalam memahami masyarakat dan hubungannya dengan masyarakat dunia. Masyarakat dunia ditandai dengan adanya relasi ketergantungan satu sama lain. Mereka bekerja sama untuk menggali lebih dalam ilmu pengetahuan dan penelitian dalam kerangka menciptakan perbaikan dan menyelesaikan persoalan hidup manusia. Mereka juga bekerja sama untuk mengembangkan keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap orang supaya siap hidup dan bekerja sama dalam konteks masyarakat dunia.

Sekolah tempat peserta didik belajar tidak bisa tidak harus mengikuti perkembangan yang terjadi. Para pembuat kebijakan kurikulum berupaya untuk menciptakan kurikulum yang dapat membantu peserta didik siap terjun bersaing di tataran global. Oleh karena itu, muatan kurikulum yang diberikan di sekolah harus memuat unsur-unsur:

1. adanya keterbatasan dalam kehidupan manusia,

2. relasi masyarakat dunia yang saling tergantung,

3. perubahan terjadi terus-menerus dalam waktu cepat,

4. perbedaan budaya di antara masyarakat dunia,

5. strategi mengatasi konflik dalam relasi pergaulan antarmasyarakat dunia (Mappaloteng, 2011).

Proses belajar-mengajar di sekolah adalah proses learning bagi semua warga sekolah. Proses ini tidak hanya semata aktivitas di kelas dan sekolah, akan tetapi terjadi juga di luar sekolah dan berkelanjutan. Lingkungan di luar sekolah menjadi faktor yang tidak dapat dipisahkan. Proses belajar dan komunikasi warga sekolah terjadi dalam open-system environment.

Muatan kurikulum sekolah harus memuat unsur-unsur yang dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Selain itu, mata pelajaran yang diberikan harus memiliki orientasi nilai-nilai hidup dalam kaitannya dengan pergaulan masyarakat dunia. Pendidikan berwawasan global diperkenalkan kepada para peserta didik sejak dini dalam proses pembinaan karakter di sekolah. Sistem pendidikan yang diberlakukan bersifat terbuka yaitu kombinasi antara kebijakan sosial di satu sisi dan kebijakan mekanisme pasar di sisi lain.

Kecakapan hidup bersama dengan orang lain

Salah satu hal mendasar pada pendidikan berwawasan global adalah kecakapan hidup bersama dengan orang lain. Bekerja dan bersaing secara positif dalam tataran global di masa mendatang mensyaratkan adanya kemampuan dan kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik. UNESCO menegaskan ada empat pilar pengalaman belajar yang dialami oleh peserta didik, antara lain:

1. learning to know,

2. learning to do,

3. learning to be,

4. learning to live together (UNESCO, 2014).

Empat pilar ini memampukan peserta didik ketika lulus dari jenjang pendidikan siap terjun dalam hidup dalam masyarakat serta bersaing di tataran global. Salah satu yang akan diuraikan dari ke empat hal di atas adalah learning to live together. Belajar untuk hidup bersama.

Globalisasi memungkinkan manusia melakukan segala sesuatu untuk kemajuan dunia. Manusia dapat mengeksploitasi kekayaan alam dan memaksimalkan potensi sumber daya manusia. Tujuan akhirnya adalah peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan hidup manusia. Di sisi lain, globalisasi juga meningkatkan kerentanan terhadap stabilitas politik, ekonomi, dan sosial. Perlu adanya kerja sama semua unsur supaya kekayaan dan kemajuan tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang atau sekolompok bangsa melainkan semua orang dan setiap bangsa mempunyai hak menikmati kekayaan dan kemajuan tersebut. Kerja sama ini bertujuan menciptakan kestabilan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam konteks ini, learning to live together mempunyai peran sentral yaitu memastikan globalisasi berfungsi untuk memperkaya kualitas hidup manusia.

Kecakapan hidup bersama orang lain membangun kesadaran peserta didik bahwa dirinya tidak seorang diri melainkan hidup bersama orang lain, hadir dan bekerja sama dengan orang lain. Oleh karena itu, pemahaman akan budaya orang lain menjadi sebuah keharusan. Berbicara tentang budaya bangsa atau orang lain berarti berbicara tentang pluralisme. Wacana tentang pluralisme mutlak diperkenalkan sejak awal pada para peserta didik ketika mereka bertemu dengan orang lain di sekolah. Richard A. Shweder dalam Culture Matters berpendapat bahwa pluralisme justru dapat berjalan bedampingan dengan kemajuan dunia. Hal ini untuk melawan kritik dari sementara orang yang berpendapat bahwa pluralisme tidak mendukung kemajuan dunia (Shweder dalam Harrison and Huntington, 2000).

Pluralisme (Sumber: Kompasiana.com)

 

Pemahaman yang baik akan pluralisme mendorong seseorang untuk mengadakan dialog budaya. Dialog budaya memainkan peranan penting ketika manusia berbeda bangsa bertemu untuk mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan bersama. Menurut Amartya Sen, guru besar bidang ekonomi dan filsafat Universitas Harvard dalam Forum Budaya Dunia di Bali beberapa tahun lampau, dialog budaya sangat mungkin dilakukan untuk memecahkan beragam persoalan yang dihadapi masyarakat dunia. Manusia pada dasarnya lebih mampu hidup bersama secara damai daripada hidup dalam suasana konflik dan penuh kekerasan. Dialog menggantikan konfrontasi. Manusia sebagai makhluk sosial mampu saling berbicara (Kompas, 25 November 2013).

Sistem pendidikan nasional Indonesia harus memuat prinsip-prinsip dasar dan aktualisasi learning to live together. Pendidikan memegang peran sentral untuk membangun kesadaran akan persamaan dalam keragaman, ketergantungan antarumat manusia, perlunya kerja sama antarmanusia dan bangsa untuk mencapai tujuan mulia globalisasi. Ketika manusia yang berbeda bertemu, berdiskusi, dan bekerja sama maka akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Ketika mereka keluar dari rutinitas harian, mengesampingkan perbedaan dan konflik, mengutamakan dialog serta kolaborasi untuk menyelesaikan masalah, maka globalisasi membangun iklim positif umat manusia.

Kecakapan berpikir kritis

Perubahan pesat dunia karena arus globalisasi bukan berarti tanpa masalah. Manusia juga dituntut untuk mengembangkan kemampuannya menyelesaikan masalah. Berpikir kreatif merupakan salah satu kecakapan yang harus dimiliki oleh peserta didik jika ingin berhasil bersaing di pasar dan hidupnya (Saleh, 2019; Wilson, et al., 2000). Setiap pendidik di jenjang pendidikan tingkat dasar sampai tinggi berkewajiban menyiapkan peserta didiknya untuk memiliki kecakapan berpikir kritis dan kreatif.

Berpikir kritis dalam konteks kecakapan ini tidak sekadar berpikir dan bertanya tentang hal-hal yang perlu diklarifikasi. Kecapakan berpikir kritis termasuk bertanya, menyampaikan ide, memilah dan memilih data, menganalisis, mengevaluasi, menguraikan hasil penelitian, merefleksikan, memformulasikan, mempertahankan gagasan, mendorong kemandirian orang lain untuk belajar, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan (Hughes, 2014). Banyaknya muatan kecakapan ini karena peserta didik dituntut lebih terlibat dan bertanggung jawab dalam dunia global dengan kompleksitas permasalahannya.

Keterlibatan dan tanggung jawab peserta didik misalnya dalam penggunaan media informasi. Media informasi tidak sekadar digunakan tetapi peserta didik diminta untuk bertanggung jawab dalam hal literasi media informasi. Tren penggunaan media informasi dan teknologi dalam pendidikan semakin meningkat. Hal ini memungkinkan mereka untuk tidak hanya mengakses dan menggunakan informasi dengan cara yang etis dan efektif dan untuk mengevaluasi informasi dan konten media secara kritis, tetapi juga memungkinkan penggunaan penuh hak mereka atas kebebasan berekspresi dan informasi. Hak yang mereka gunakan atas kebebasan berekspresi ini terlebih dahulu harus dipahami dan digunakan secara bertanggung jawab. Bentuk tanggung jawab tersebut adalah mencoba mendalami perkembangan media informasi dan kaitannya dengan masalah-masalah sosial kemanusiaan. Literasi digital adalah salah satu pendukung bagi siapa pun yang akrab dengan peralatan teknologi canggih (Smith & Cawthon, 2017).

Berpikir kritis digunakan untuk bersama orang lain bekerja sama menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat. Tujuan luhur globalisasi supaya manusia dan bangsa-bangsa semakin sejahtera harus senantiasa dijaga. Di sinilah kecakapan berpikir kritis memegang kendali untuk mengarahkan manusia pada kemajuan yang sesungguhnya yaitu setiap warga dunia semakin menyadari dan menghormati martabat manusia. Kemajuan di segala aspek kehidupan sering membawa korban dan yang paling ditakuti adalah hilangnya hormat terhadap martabat manusia. Salah satu kelemahan manusia yang tampak adalah keinginan untuk mencapai keberhasilan secara instan dengan mengorbankan penghormatan terhadap martabat manusia. Pendidik bertanggung jawab supaya peserta didik memahami bahwa kecakapan berpikir kritis sesungguhnya mempunyai tujuan untuk tidak hanya menyelesaikan persoalan di lingkup pasar global melainkan yang utama adalah semakin menghormati martabat manusia.

Norma dasar yang terpenting adalah martabat manusia. Manusia adalah makhluk yang bebas dan otonom yang sanggup mengambil keputusannya sendiri. Manusia adalah pusat kemandirian, unik, dan tidak pernah tergantikan. Kewajiban untuk menghormati martabat manusia, oleh Immanuel Kant, dirumuskan sebagai perintah: “Hendaknya memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka.” (Bertens, 1993).

Martabat manusia mengandung pengertian bahwa manusia harus selalu dihormati sebagai manusia. Bukan kedudukan dalam masyarakat, faktor keturunan, atau sebagainya menjadi alasan terakhir penghormatan terhadap manusia, melainkan semata-mata martabatnya sebagai manusia. Bagi Immanuel Kant, martabat manusia menjadi sumber kewajiban baik terhadap diri kita sendiri maupun terhadap orang lain (Bertens, 1993).

Kecakapan untuk menjadi teladan

Pembiasaan atau tepatnya pembudayaan nilai-nilai moral juga mutlak diperlukan dalam rangka pembentukan karakter peserta didik. Pengintegrasian nilai-nilai moral dapat dilakukan dalam setiap mata pelajaran dan tugas-tugas sekolah. Selain itu, seluruh komponen yang ada di sekolah harus terlibat aktif dalam program-program sekolah terutama pembentukan karakter. Guru hendaknya memiliki integritas yang tinggi dalam melakukan fungsi-fungsi, sehingga ia bukan sekadar pandai dalam melakukan transformation of knowledge melainkan juga mampu melakukan transformation of value serta mampu memberikan keteladanan sikap dan perilaku sehari-hari di mata siswa. Perilaku spontan guru terkadang lebih berdampak terhadap pembentukan sikap dan perilaku siswa (Hakam dalam Budimansyah, 2012).

Tantangan berikutnya adalah bagaimana peserta didik dapat menginternalisasikan pengalaman keteladanan yang dialami menjadi miliknya. Setelah melalui proses pertimbangan yang matang peserta didik berani mengambil keputusan untuk menjadi teladan walaupun masih muda.

Penutup

Globalisasi adalah suatu proses sosial yang membawa manusia dan seluruh bangsa makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat. Fenomena ini menyadarkan kita untuk tidak hanya terlibat aktif dalam globalisasi melainkan juga menyikapi secara kritis bagaimana seharusnya individu, lingkungan, dan negara menyikapi globalisasi sekaligus mempersiapkan pelbagai macam alternatif cara supaya tidak tergusur oleh persaingan global.

Pertanyaan yang dapat diajukan adalah apakah globalisasi dapat membuat manusia menjadi lebih manusiawi terhadap manusia yang lain. Masalah-masalah martabat manusia juga menjadi penekanan dalam mengkritisi perkembangan pesat globalisasi. Kecakapan-kecakapan yang diuraikan di atas berkaitan dengan manusia dan relasinya menghadapi persaingan global sekaligus berinteraksi dengan orang banyak. Kecakapan-kecakapan tersebut bertujuan supaya di tengah arus deras globalisasi manusia harus semakin terangkat martabat luhurnya.

 

No power on this earth can destroy the thirst for human dignity (Nelson Mandela).

 

Daftar pustaka

  1. Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  2. Budimansyah, D., (Ed). (2012). Dimensi-Dimensi Praktik Pendidikan Karakter. Bandung: Widya Aksara Press.
  3. Friedman, T.L., (2005). The World is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century. New York: Farrar, Straus, and Giroux.
  4. Koesoema, A.D., (2012). Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius.
  5. Harrison, L.E. and Huntington, S.P., (2000). Culture Matters How Values Shape Human Progress. New York: Basic Books.
  6. Hughes, J. 2014. Critical Thinking in the Language Classroom.https://www.ettoi.pl/PDF_reosources/Critical_ThinkingENG.pdf
  7. Mappalotteng, A.M., (2011). “Paradigma Pendidikan Berwawasan Global dan Tantangannya.” Jurnal Medtek. 3. (2)
  8. Saleh, S.E., (2019). Critical Thinking as A 21’st Century Skills: Conception, Implementation and Challenges in the EFL Classroom. European Journal of Foreign Language Teaching. 4. (1).
  9. Sergiovanni, T.J., (1994). Building Community in Schools. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
  10. Smith T., Cawthon, T.W., (2017). “Generation Z Goes to College”. College Student Affairs Journal. 35. (1)
  11. (2014). Learning to Live Together. Education Policies and Realities in the Asia-Pacific. Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
  12. Watson, M., (2006). Long-Term Effects of Moral/Character Education in Elementary School: In Pursuit of Mechanism. Journal of Research in Character Education. 4 (1&2).
  13. Wilson, C.; Miles, C.; Baker, R., Shoenberger, R. 2000. Learning Outcomes for the 21st Century: report of a community college study. League for Innovation in the Community College

 

 Pst Fransiskus Samong, OSC, Direktur Eksekutif Yayasan Salib Suci.

 

Sumber gambar utama: shutterstock 

Artikel ini dimuat pada Majalah Parahyangan Vol. VIII No. 1 / 2021 / Jan - Mar