Perkembangan masyarakat global dewasa ini, termasuk pandemi Covid-19, membuat sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi berpikir keras bagaimana menyikapinya. Tidak cukup hanya “mengoptimumkan”, tampaknya “mentransformasikan” mau tidak mau merupakan langkah yang perlu ditempuh.
Perkembangan pesat pendidikan, terutama pendidikan tinggi, sesudah Perang Dunia II belakangan ini mengalami tantangan, terutama di negeri-negeri maju. Cepat atau lambat, pendidikan tinggi di negeri-negeri berpendapatan menengah seperti Indonesia pun akan mengalami situasi serupa.
Transformasi
Istilah “pengoptimuman” (optimization) model operasional diartikan sebagai upaya yang mana organisasi perlu meningkatkan keefektifan dan efisiensi dalam rangka meningkatkan kinerja untuk memenuhi cita-cita strategis dengan model pelayanan yang ditetapkan. Adapun “transformasi” (transformation) model operasional dibutuhkan ketika organisasi mengubah secara signifikan cita-cita strategisnya atau membutuhkan pergeseran fundamental proposisi nilai dan model pelayanannya.
Tampaknya, yang realistis bagi banyak organisasi adalah, sementara mengupayakan transformasi untuk jangka yang lebih panjang, dilakukan pula pengoptimuman dalam jangka pendek. Pengoptimuman berfokus pada perbaikan-perbaikan, yang mungkin dapat dilakukan untuk perubahan relatif kecil. Transformasi melihat cita-cita strategis yang lebih besar dan berfokus lebih tajam pada disrupsi.
Meminjam konsep KPMG (2020), baik pengoptimuman maupun transformasi memiliki komponen yang sama, yaitu:
1) Meninjau strategi.
2) Meningkatkan kapabilitas inti.
3) Mengadopsi sebuah model operasi.
4) Memperbarui teknologi.
Meninjau strategi
Sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi perlu meninjau strategi yang telah dituangkan dalam rencana pengembangan jangka menengah atau rencana strategis. Perubahan strategi yang dipilih tentu bergantung pada pandangan masing-masing tentang masa depan. Namun demikian, fitur-fitur berikut ini barangkali menyelimuti sektor pendidikan:
1) Tanpa Batas. Batas-batas daerah dan nasional akan semakin kabur. Penyajian lintas batas akan meningkat, terutama melalui pembelajaran daring.
2) Perubahan mata kuliah. Mata kuliah semakin mengarah pada kompetensi yang lebih spesifik. Sejumlah mata kuliah yang sangat terkait dapat dibundel sebagai kompetensi tertentu. Konsep pembelajaran yang bersifat memperluas cakrawala perlu dipadukan dengan kecenderungan ini.
3) Digital native. Mahasiswa baru adalah kaum digital native. Mereka sangat berbeda dengan orangtua mereka. Hal ini memperkuat kedua fitur di atas.
4) Pembelajaran eksperiensial. Kebutuhan akan pembela-jaran berbasis pengalaman akan semakin meningkat. Learning by doing akan semakin memperoleh tempat. Pembelajaran yang terkait erat dengan pengalaman di dunia nyata semakin merupakan tuntutan. Pendidikan akademik akan berbaur dengan pendidikan vokasional.
5) Pembelajaran sepanjang hayat. Kebutuhan upsklling, reskilling, dan retraining merupakan kebutuhan dalam waktu dekat. Semakin banyak orang dewasa memiliki kebutuhan belajar untuk memperbarui diri.
6) Pembelajaran sesuai kebutuhan/permintaan. Pembelajar-an yang lebih sesuai dengan permintaan spesifik perusahaan atau seseorang semakin dibutuhkan. Lembaga pendidikan diharapkan semakin mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
7) Integrasi dengan gaya hidup. Zaman berubah. Pendidikan semakin menyesuaikan dengan keadaan, kebutuhan, dan gaya hidup mahasiswa.
Meningkatkan kapabilitas inti
Organisasi apa pun perlu meningkatkan kapabilitas inti mereka masing-masing. Mengadopsi apa yang dikemukakan KPMG, terdapat 8 (delapan) kapabilitas inti sebagai berikut:
1) Strategi dan tindakan yang didorong oleh pemahaman: kemampuan mengolah data dan memahami siapa yang dilayani dan aktivitas pelayanan yang disajikan untuk menentukan keputusan-keputusan.
2) Produk dan layanan inovatif: kemampuan mengem-bangkan nilai-nilai yang bermakna bagi siapa yang dilayani.
3) Berpusat pada pengalaman: kemampuan merancang pengalaman-pengalaman berharga bagi siapa yang dilayani, bagi karyawan, bagi mitra kerja sama untuk mendukung pewujudan nilai-nilai yang bermakna.
4) Interaksi dan transaksi yang mulus: kemampuan berin-teraksi dan bertransaksi dengan berbagai pihak dengan mencapai hasil-hasil yang terukur.
5) Operasi dan rantai pasok yang responsif: Kemampuan mengoperasikan pelayanan dengan efisiensi dan kelincahan untuk memenuhi janji kepada yang dilayani secara konsisten dan membawa manfaat.
6) Tenaga kerja yang selaras dan berdaya: kemampuan membangun sebuah organisasi yang berpusat pada yang dilayani, dan membangun budaya yang menginspirasi orang-orang yang dilayani sesuai dengan yang dijanjikan.
7) Arsitektur teknologi yang berdaya secara digital: kemam-puan menciptakan layanan, teknologi, dan platform yang cerdas dan lincah, memampukan yang dilayani dengan solusi-solusi aman, efektif, dan biaya sesuai.
8) Ekosistem mitra dan aliansi yang terpadu: kemampuan untuk bergandengan, berintegrasi, dan mengelola pihak-pihak ketiga agar lebih merasuk ke pasar, mengurangi biaya, memitigasi risiko, dan mempersempit kesenjangan kapabilitas dalam memenuhi janji kepada yang dilayani.
Mengadopsi sebuah model operasi
Blok bangunan selanjutnya adalah mengadopsi suatu model operasi. Banyak perguruan tinggi yang tidak mampu mengartikulasikan secara jelas model operasi mereka saat ini, atau sekadar merasionalisasikan status quo, bukannya menunjuk pada suatu rencana yang memang hendak dieksekusi. Tantangan-tantangan dan faktor-faktor disruptif yang dihadapi dalam bidang pendidikan membutuhkan pendekatan konseptual yang jelas, memperlihatkan bagaimana organisasi akan mengorganisasikan dirinya untuk melaksanakan strategi dan proses-proses rinci yang hendak digunakan.
Memperbarui teknologi
Investasi dalam teknologi merupakan sesuatu yang perlu secara serius dipertimbangkan untuk bertransformasi. Proses-proses di depan, tengah, dan belakang hendaknya mulus dalam menghadapi kompleksitas institusi pendidikan tinggi masa depan. ***
Krismastono Soediro, Kepala Kantor Yayasan Universitas Katolik Parahyangan; menulis sejumlah buku populer. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Sumber foto utama: KPMG
Artikel ini dimuat pada Majalah Parahyangan Vol. VIII No. 4 / 2021 / Okt - Des