Perlukah Pendidikan yang Inovatif?

Saat menyimak sebuah presentasi mengenai pendidikan, saya tergelitik ketika melihat wajah pendidikan kita tidak jauh berubah dari dulu sampai sekarang. Ketika dulu dosen menulis dengan kapur di papan tulis, mahasiswa sibuk mencatat apa yang dituliskan dosen. Kini ketika teknologi sudah semakin canggih, dosen mempresentasikan materi di depan kelas dengan Microsoft Power Point dan mahasiswa tetap sibuk mencatat yang ada di Microsoft Power Point. Ketika teknologi yang berkembang di dunia semakin pesat dengan bantuan big data, robot, dan entitas futuristik lainnya, wajah pendidikan di Indonesia masih belum banyak berubah.

“…Ketika dahulu dosen adalah sumber pengetahuan dan ilmu yang hanya dapat diakses mahasiswa, kini Mbah Google sudah memiliki semua jawaban atas pertanyaan yang ingin diberikan sebagai bank data raksasa digital…”

Demikian juga dengan sistem asesmen berbentuk ujian yang ada di Indonesia. Menjelang waktu Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester, tak jarang mahasiswa merasa begitu cemas dan sibuk menghafalkan materi yang diajarkan di kelas dari A-Z guna mendapatkan nilai terbaik. Begitu berada di ruang ujian, mereka seolah berlatih mengingat apa yang telah mereka catat dan amati selama berada di kelas. Jika mereka berhasil mengingat catatan atau buku teks dengan benar, mereka akan diganjar dengan nilai yang baik. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak belajar dengan sungguh-sungguh, dalam hal ini membaca, maka mereka akan dihukum dengan nilai yang jelek. Bahkan harus mengulang di semester depan.

Ironisnya ketika selesai dari bangku kuliah dan ditanya “what’s next?”, rata-rata dari calon sarjana masih bingung untuk menentukan jalan mereka. Sebagian memilih untuk meneruskan ke jenjang magister (S2) sambil mencari wangsit untuk langkah kehidupan selanjutnya, sebagian mencoba bekerja sebagai profesional. Namun ketika ditanya kemampuan apa yang dimiliki, rata-rata calon sarjana kebingungan untuk menjelaskan apa yang didapatkan selama berada di bangku kuliah. Kuliah seolah menjadi sebuah formalitas dan ajang untuk mencari gelar, namun setelah fase itu usai justru membuat lulusannya menjadi galau.

Ketika mencermati sarjana di Indonesia yang berada di angka 8,79 persen dari seluruh penduduk Indonesia, lulusan sarjana yang menganggur justru semakin besar. Menurut Badan Pusat Statistik, penyebab utama lulusan diploma dan sarjana menganggur adalah keterampilan tidak sesuai dengan kebutuhan, ekspektasi penghasilan dan status yang lebih tinggi, dan penyediaan lapangan pekerjaan terbatas. Hal ini tentu sangat ironis mengingat pendidikan tinggi tidak berbanding lurus dengan kemudahan dalam mencari aspek finansial.

Fenomena ini tentu menjadi sebuah refleksi bagi dunia pendidikan Indonesia bahwa pendidikan pun harus berinovasi dalam menjawab tuntutan zaman. Ketika dahulu dosen adalah sumber pengetahuan dan ilmu yang hanya dapat diakses mahasiswa, kini Mbah Google sudah memiliki semua jawaban atas pertanyaan yang ingin diberikan sebagai bank data raksasa digital yang diciptakan pada 4 September 1998 oleh Larry Page dan Sergey Brin. Ketika teknologi sudah semakin berkembang, informasi menjadi sangat mudah untuk didapatkan dalam hitungan detik di layar smartphones maupun laptop. 

Praktik Baik Pendidikan di Luar Negeri

Melihat wajah pendidikan di Indonesia, mungkin kita dapat berkaca pada praktik pendidikan di negara maju. Di Amerika Serikat, kerja magang di kantor, perusahaan, dan lembaga pemerintah merupakan hal yang umum dilakukan sejak Abad Pertengahan. Magang bertujuan untuk melatih tenaga kerja yang tidak terampil dalam sektor industri tersebut. Uniknya, magang yang dilakukan adalah magang tanpa bayaran yang dilindungi oleh Departemen Tenaga Kerja Amerika sejak tahun 2018. Magang memberikan pengalaman yang bernilai bagi mahasiswa untuk memahami industri dalam konteks nyata, serta menjembatani teori yang didapatkan di bangku kuliah dengan praktik yang ada di lapangan.

Sementara itu, China memberikan investasi yang besar dalam bidang pendidikan, riset, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dikutip dari Moneter.id, China telah memulai uji coba penelitian dan pengembangan teknologi 5G. Demikian juga produk yang memanfaatkan Artificial Intelligence (AI), big data, dan internet of things yang gencar dikembangkan di China. Selain itu, kehadiran lembaga Think Tanks di China yang bertujuan untuk melakukan penelitian dan pengembangan riset mendapat dukungan pendanaan penuh dari pemerintah.

Finlandia sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia menerapkan sistem pembelajaran berbasis permainan sejak pendidikan anak usia dini (PAUD). Selain itu, guru diberikan ruang yang luas untuk bereksperimen dalam mengajar, sehingga bisa meningkatkan apa yang berhasil dan menghilangkan apa yang tidak. Pendidikan di Finlandia tidak memberikan banyak pekerjaan rumah dan memberikan waktu bermain selama 15 menit dalam 45 menit pengajaran. Sekolah pun tidak bersaing satu dengan yang lain, melainkan berkolaborasi untuk menghasilkan siswa yang sukses, di mana guru dilatih untuk membuat penilaian secara spesifik untuk setiap individu dibandingkan menggunakan standar penilaian nasional atau internasional.

“Sebagian besar mahasiswa hanya bertahan kurang lebih selama 15 menit untuk mendengarkan dosen saat berbicara di depan kelas, selebihnya mereka sibuk menyimak smartphones…”

Pendidikan: Labirin Keingintahuan atau Derita?

Mencermati fenomena mahasiswa yang apatis terhadap proses perkuliahan, mungkin mereka tergolong dalam empat kategori berikut, di mana perkuliahan menjadi persimpangan antara labirin keingintahuan (curiousity) atau justru derita. Banyak mahasiswa yang merasa malas ketika datang ke kelas karena merasa “terpaksa” menjalani jurusan yang tidak mereka sukai. Hal ini terjadi karena berbagai faktor. Pertama, peer preasure dari teman-teman yang mengatakan bahwa jurusan A lebih baik dari jurusan B ketika duduk di bangku SMA dan akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Fenomena ikut-ikutan teman inilah yang pada akhirnya menjadi tekanan bagi mahasiswa yang terlanjur masuk ke jurusan yang tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Akibatnya, kuliah pun dijalani dengan sekadarnya atau bahkan berhenti di tengah jalan.

Sumber: rencanamu.id

Kedua, pola pembelajaran yang monoton. Sebagian besar mahasiswa hanya bertahan kurang lebih selama 15 menit untuk mendengarkan dosen saat berbicara di depan kelas, selebihnya mereka sibuk menyimak smartphones, mengabadikan momen di kelas bersama teman dengan caption nyeleneh di IG Story, mengobrol bersama teman lainnya, atau membuat coretan-coretan kecil di buku sebagai tanda kebosanan. Pembelajaran yang bersifat satu arah ini kurang relevan dengan mahasiswa yang kini mayoritas berada pada rentang usia Generasi Z. Apalagi jika dilakukan dalam durasi yang panjang tanpa jeda, perkuliahan dapat terasa sangat menjemukan bagi mahasiswa.

Ketiga, ujian yang bersifat menghafal. Banyak mahasiswa yang merasa stres ketika akan menghadapi ujian karena diwajibkan menghafal seluruh isi buku teks tanpa kurang titik dan koma. Akhirnya sejak sekolah hingga lulus kuliah, mereka dinilai sukses karena berhasil memindahkan isi buku ke dalam kertas ujian tanpa mengerti dan memahami konsep yang diajarkan. Ketika diminta untuk mempraktikkan konsep tersebut di dunia nyata, mahasiswa merasa kebingungan karena apa yang diajarkan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Tak heran muncul kesenjangan antara tuntutan dunia karier dengan apa yang didapatkan di bangku kuliah.

Keempat, stigma bahwa kebenaran hakiki datangnya hanya dari dosen. Banyak sekali perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan dewasa ini dari perkembangan IPTEK, tak jarang beberapa teori yang semula relevan, kini mulai tertinggal oleh zaman. Maka dari itu, dosen haruslah meng-update dan meng-upgrade ilmu yang dimiliki agar senantiasa relevan. Ketika mahasiswa memberikan koreksi akan ilmu yang baru, maka dosen haruslah menjadi fasilitator yang mau mendengarkan dan mau belajar karena kebenaran hakiki tidaklah mutlak dari dosen. Sebagai seorang pengajar, peneliti, dan pengabdi kepada masyarakat, dosen pun harus senantiasa mengembangkan rasa ingin tahu untuk ilmu yang sedang berkembang dewasa ini.

Pendidikan yang Inovatif

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia periode 2019 – 2024 yang juga eks-CEO GO-JEK, Nadiem Makarim berpesan agar dosen mengubah pola pembelajaran. Dosen diharapkan tidak menggurui, memberikan ceramah di kelas, melainkan bisa menjadi dosen penggerak. Dosen penggerak akan lebih banyak belajar dan menanyakan pertanyaan dari mahasiswanya. Di kelas, dosen dapat berdiskusi atau belajar kelompok. Selain itu, dosen penggerak juga mengerjakan berbagai proyek di luar, namun melibatkan mahasiswa agar mendapatkan pengalaman yang berbeda.

Menyambung dari apa yang disampaikan Mas Menteri, pendidikan yang inovatif juga dapat dimulai dari pertanyaan “apa yang dibutuhkan oleh mahasiswa, bukan apa yang diinginkan oleh dosen”. Hal tersebut dapat disiasati dengan proses pembelajaran berbasis studi kasus. Banyak sekali kajian yang dapat diangkat dari dunia nyata, mulai dari masalah banjir, pengangguran, ekspor impor, bisnis start-up, dan beragam topik lainnya yang hangat dan dapat menjadi bahan yang menarik untuk dijelaskan di kelas. Kasus tersebut dapat dikaitkan dengan materi yang dipelajari di kelas, sehingga teori yang dipelajari terasa bermanfaat untuk menjawab permasalahan yang terjadi di lapangan. Bukan hanya sekadar berbicara tentang idealisme kondisi dan situasi yang terjadi berbasis buku teks.

Inovasi pun dapat diciptakan dari proses pembelajaran yang dilakukan melalui proses observasi maupun eksperimen. Observasi dapat dilakukan dengan meninjau langsung lokasi proyek atau studi kasus dengan melihat fenomena atau pola kerja yang ada, sehingga mahasiswa memahami proses kerja yang ada di lapangan. Demikian juga dengan eksperimen dapat dilakukan setelah observasi untuk memperbaiki apa yang kurang di lapangan, serta bereksperimen tentang hal penting yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut. Melalui sistem pembelajaran berbasis lapangan, mahasiswa diharapkan mampu mendapat gambaran yang utuh tentang industri yang diteliti, bukan hanya mendapat pembelajaran teoritis yang berguna untuk menyelesaikan ujian semata.

Selain itu, paradigma pembelajaran mahasiswa pun harus berubah dari “what?” ke “why?”. Belajar bukan hanya mengetahui apa yang perlu dipelajari, melainkan mengapa hal tersebut dapat terjadi. Melalui pertanyaan kritis inilah akan muncul gagasan kreatif dan inovatif yang mungkin terkesan tidak realitis, namun membuka ruang pengembangan baru dalam ilmu pengetahuan yang dapat menjadi kajian menarik untuk didiskusikan di kelas. Apresiasi terhadap gagasan baru pun perlu diberikan agar mahasiswa tidak sungkan dan segan untuk memberikan buah pikiran mereka di kelas.

“…paradigma pembelajaran mahasiswa pun harus berubah dari “what?” ke “why?”

Jika ditanya perlukah pembelajaran yang inovatif? Jawabannya tentu sangat diperlukan dalam menyambut perkembangan zaman yang semakin pesat. Apalagi persaingan di industri, baik sebagai profesional maupun pebisnis semakin ketat di era Industri 4.0 menuntut kita untuk terus belajar dan beradaptasi dalam menghadapi kemajuan IPTEK. Sebagai dosen, tentu menjadi tantangan juga bagi kita untuk mempersiapkan materi yang relevan bagi mahasiswa. Dosen pun harus terus belajar untuk menjadi dosen yang inovatif guna menciptakan proses pembelajaran yang inovatif.

Proses pembelajaran yang inovatif tidak hanya berbicara tentang penggunaan media yang canggih dan kekinian, melainkan paradigma pendidikan yang turut menyesuaikan zaman. Sebagai output-nya, diharapkan mahasiswa tidak hanya menjadi pendengar yang baik di kelas, melainkan pengamat yang handal, serta berani untuk mengimplementasikan ilmu yang sudah didapatkan ketika kelak lulus dari bangku kuliah. Saat itulah, perguruan tinggi berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui mahasiswa yang kompeten, baik secara akademik maupun softskills yang dimiliki.

 

Referensi:

Daniel Hermawan, S.AB., M.Si., M.B.A., dosen Program Studi Ilmu Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Katolik Parahyangan mengampu mata kuliah Kreativitas dan Inovasi, Manajemen Pemasaran, dan Komunikasi Bisnis.

 

Sumber foto utama: Dokumen Unpar Press

Artikel ini dimuat pada Majalah Parahyangan Vol. VII No. 2 / 2020 / Apr - Jun