Sebuah Gagasan Bagi Anak Putus Sekolah: Boemi Atikan

Pernah merasakan mengajar anak-anak jalanan di masa kecilnya dahulu, membentuk kepedulian Falencia Suryanti, biasa dipanggil Falen, pada problem pendidikan yang dialami oleh kaum terpinggirkan. Kepeduliannya ini justru menjadi kekuatannya pada kompetisi Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Pilmapres) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) 2022, yang mengantarkan dirinya menjadi pemenang pertama pada ajang tersebut.

 

Dalam Pilmapres Unpar 2022, Falen membawakan gagasan tentang “Menjawab Tantangan Masa Depan melalui Kecerdasan Meta”. Sebagai pemenang pertama di lingkup Unpar, ia berkesempatan mengikuti proses seleksi di tingkat wilayah, yaitu pada Pemilihan Mahasiswa Berprestasi tingkat Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah IV (Provinsi Jawa Barat dan Banten). Dalam kompetisi di tingkat wilayah ini, Falen konsisten berfokus pada masalah pendidikan, dengan membawakan gagasan tentang “Boemi Atikan: Program Pendidikan Non-Formal Berkelanjutan Bagi Kalangan Remaja Marjinal”. Setelah dinyatakan lolos dalam seleksi LLDIKTI Wilayah IV bersama dengan empat universitas lainnya, maka Falencia Suryanti, melanjutkan ke tingkat nasional.

Mengapa Falen mengangkat isu tersebut? Demikian tulisnya, “Walaupun sudah banyak program-program pemerintah untuk meningkatkan pendidikan layak, namun terjadi penurunan besar pada Angka Partisipasi Masyarakat dan Angka Partisipasi Sekolah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2021), Angka Partisipasi Murni (APM) mengalami penurunan pada jenjang SMP ke SMA sebesar 24,3% dan Angka Partisipasi Sekolah (APS) juga mengalami penurunan sebesar 27,29% di Provinsi Jawa Barat. Fenomena ini dekat dengan kehidupan masyarakat marjinal di Indonesia terutama pada jenjang SMP dan SMA.”  Ia menyimpulkan, semakin tinggi jenjang pendidikan justru semakin besar angka putus sekolah.

Berdasarkan permasalahan aktual terutama yang dialami oleh kalangan marjinal yang disaksikannya itu, lahirlah gagasan tentang “Boemi Atikan”. Boemi Atikan menjadi jawaban dari permasalahan terhentinya pendidikan di kalangan remaja marjinal. Dalam naskah gagasan kreatifnya, Falen menulis, “Boemi Atikan merupakan komunitas yang terbuka untuk menempuh pendidikan non-formal remaja berusia 15-22 tahun, khususnya di kalangan marjinal sehingga Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas tertap terwujud. Komunitas ini tidak memiliki banyak persyaratan seperti komunitas atau organisasi yang tumbuh pesat ahir-akhir ini, sehingga dapat dijangkau oleh remaja marjinal yang sedang menempuh pendidikan formal maupun tidak. Melalui Boemi Atikan, diharapkan semua remaja mampu mengembangkan potensi diri melalui pendidikan non-formal sehingga memberikan efek domino dengan terciptanya sumber daya manusia berkualitas yang siap menghadapi dan bersaing di dunia kerja.” 

Konsep Boemi Atikan bagi Falen antara lain, “Boemi atau Bumi, yang berasal dari bahasa Sunda memiliki arti sebagai rumah dan Atikan yang berarti pendidikan. Komunitas ini diharapkan mampu menjadi rumah yang nyaman untuk setiap individu dapat belajar, mengembangkan, dan mengekspresikan diri sebagai bagian dari proses pendidikan. Boemi Atikan mendasarkan diri pada prinsip-prinsip bahwa pendidikan merupakan suatu proses panjang berkelanjutan yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs), terutama poin keempat tentang pendidikan yang berkualitas. Berdasarkan World Economic Forum (2016), kemampuan untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, berpikir kreatif dan kritis, serta koordinasi dalam tim, merupakan kemampuan esensial yang perlu dimiliki agar siap menghadapi revolusi industri.”

 

“…semakin tinggi jenjang pendidikan justru semakin besar angka putus sekolah.”

 

Falen merencanakan kegiatan di Boemi Atikan sebagai berikut, “Program pengembangan diri melalui mentoring secara online dan pelatihan soft skills melalui workshop secara offline. Program pengembangan diri akan berfokus pada self discovery, kepemimpinan, serta kemampuan berpikir dan analisis. Pelatihan soft skills berfokus kepada mencari dan menuliskan ide, mengemukakan ide, manajemen waktu, serta manajemen konflik. Metode pembelajaran akan dilakukan dengan metode offline di area Bandung, Jawa Barat sehingga mampu memberikan pemahaman yang lebih mendalam, namun juga turut memberikan kesempatan bagi peserta yang berada di luar kota Bandung bahkan seluruh Indonesia melalui pelaksanaan secara online.” 
“Boemi atau Bumi, yang berasal dari bahasa Sunda memiliki arti sebagai rumah dan Atikan yang berarti pendidikan.”

Bagaimana Falen merencanakan dukungan untuk Boemi Atikan? Berikut ini paparannya, “Boemi Atikan tidak mampu berjalan tanpa adanya kontribusi dari berbagai pihak. Maka dari itu, untuk mendukung keberhasilan pencapaian target sasaraan, Boemi Atikan akan melakukan kerja sama dengan berbagai organisasi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Corporate Social Responsibility (CSR), dan Organisasi Kemahasiswaan serta Pelajar. Berbagai organisasi pengembangan diri tumbuh pesat di kalangan pelajar dan mahasiswa, hal ini menunjukkan adanya kesamaan visi untuk dapat memajukan pendidikan non-formal di Indonesia. Maka dari itu, Boemi Atikan membuka ruang kolaborasi untuk dapat menggandeng organisasi kemahasiswaan di tingkat Universitas seperti himpunan dan BEM serta seluruh universitas di Jawa Barat ataupun Indonesia melalui berbagai organisasi skala nasional. Keterlibatan pelajar juga diharapkan mampu menularkan semanga kepada peserta di Boemi Atikan. Selain itu, pada program akan dihadirkan sharing session oleh pelajar inspiratif, seperti Anay, warganet TikTok yang merupakan lulusan SMK.” 

Inilah karya inspiratif yang lahir dari pengalaman masa kecil yang membekas, sehingga memberi motivasi semangat bagi Falen untuk berkarya bagi pendidikan. Semoga karya ini juga dapat pula menyemangati anak-anak muda lainnya agar memiliki kepedulian yang tinggi pada kaum marginal, khususnya bagi mereka yang masih sulit mengecap pendidikan. *** (UP)

 

Sumber foto utama: pingpoint.co.id

Artikel ini dimuat pada Majalah Parahyangan Vol. X No. 1 / 2023 / Jan - Mar.