Pendidikan tinggi di Indonesia bermula dari sekitar awal abad ke-20 ketika kebutuhan akan tenaga kerja ahli berpendidikan tinggi di Hindia Belanda sudah mulai dirasakan mendesak. Pada tahun 1910 dibentuklah Indische Universiteit Vereniging (IUV, Perhimpunan Universitas Hindia Belanda) yang bertujuan mendukung penyelenggaraan perguruan tinggi, baik oleh pemerintah maupun swasta. Namun, hingga tahun 1912 Menteri Jajahan belum juga memikirkan rencana serius pendirian suatu perguruan tinggi di Hindia Belanda. Kebijakan waktu itu adalah apabila ada warga masyarakat Hindia Belanda yang hendak menempuh pendidikan tinggi maka lebih baik mereka belajar di Negeri Belanda.
Akibat Perang Dunia I
Akibat Perang Dunia I (1914-1918) anak-anak muda dari Hindia Belanda tidak dapat melanjutkan studi di Negeri Belanda, sedangkan kebutuhan tenaga, khususnya insinyur, untuk kepentingan industri di Hindia Belanda semakin mendesak. Doktor Abdoel Rivai dan sejumlah anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mengusulkan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan universitas di Indonesia, namun kurang memperoleh tanggapan nyata.
“Akibat Perang Dunia I (1914-1918) anak-anak muda dari Hindia Belanda tidak dapat melanjutkan studi di Negeri Belanda…”
Sementara itu, pada tahun 1917 di Negeri Belanda dibentuk sebuah lembaga swasta bernama Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indië. Setelah mengumpulkan dana, sejak tahun 1919 di Bandung mulai dibangun kampus untuk perguruan tinggi, yang baru diresmikan penggunaannya pada tahun 1920. Secara resmi perguruan tinggi tersebut diberi nama Technische Hoogeschool (TH atau THS, Sekolah Tinggi Teknik). Inilah perguruan tinggi pertama di Hindia Belanda. Pendirian TH Bandoeng segera diikuti oleh pendirian Rechtskundige Hoogeschool (RH atau RHS, Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia pada tahun 1924, yang merupakan peningkatan dari Rechtschool yang sudah ada sebelumnya. Selanjutnya dibuka Geneeskundige Hoogeschool (GH atau GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) di Batavia pada tahun 1927, yang merupakan peningkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Kemudian di Bogor pada tahun 1941 didirikan Landbouw Hoogeschool (LH atau LHS, Sekolah Tinggi Pertanian), sebagai Faculteit van Landbouwwetenschap dari universitas yang akan didirikan kemudian. Akan tetapi, tidak lama kemudian Tentara Dai Nippon menduduki Hindia Belanda pada tahun Maret 1942.
Pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan
Pada masa pendudukan Tentara Dai Nippon perguruan-perguruan tinggi ditutup kecuali Ika Dai Gakko (Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta dan Koogyoo Dai Gakko (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Pada tingkat lebih rendah dibukalah Kenkoku Gakko In (Akademi Pemerintahan) di Jakarta, Yakku Gakko (Sekolah Farmasi) di Bandung, Shika Gakko (Sekolah Kesehatan Gigi) di Surabaya, dan Jyui Gakko (Sekolah Kedokteran Hewan) di Bogor.
Pada tahun 1946 Pemerintah Pendudukan Belanda (NICA) membuka Nood Universiteit (Universitas Darurat) di Jakarta, yang terdiri dari 5 (lima) fakultas yaitu: Fakultas Kedokteran (Jakarta), Fakultas Hukum (Jakarta), Fakultas Teknik (Bandung), Fakultas Sastra dan Filsafat (Jakarta), dan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian (Bogor). Tahun 1947 Nod Universiteit diubah namanya menjadi Universiteit van Indonesië.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah RI merencanakan perubahan sistem pendidikan warisan kolonial dengan sistem nasional, sesuai dengan situasi dan kondisi sosial Indonesia merdeka. Tahun 1945 Pemerintah membentuk Balai Pergoeroean Tinggi Repoeblik Indonesia (BPTRI). Pada masa Revolusi Kemerdekaan, BPTRI terutama beroperasi di jantung wilayah Republik, yaitu Solo, Klaten, dan Yogya.
Sementara itu pada tahun 1945 sekelompok intelektual Islam di Jakarta berhasil mendirikan sekolah tinggi Islam yang kemudian dipindahkan ke Yogyakarta pada tahun 1946. Pada tahun 1948 sekolah tinggi itu menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Di Yogyakarta pula, menjelang akhir tahun 1946, sekelompok masyarakat berhasil mendirikan Perguruan Tinggi Gadjah Mada (swasta) yang mencakup bidang studi ilmu hukum dan kemasyarakatan. Kemudian, suatu kelompok masyarakat Indonesia (golongan nonkooperator) yang tetap tinggal di Jakarta berhasil mendirikan Universitas Nasional pada tahun 1949.
Seusai kembalinya Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia, Pemerintah RI mendirikan Universitas Negeri Gadjah Mada (kemudian menjadi Universitas Gadjah Mada, UGM) pada tanggal 19 Desember 1949, sebagai peringatan hari dimulainya penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948. Sesudah Revolusi Kemerdekaan usai, Universiteit van Indonesië diambil alih oleh Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia pada awal tahun 1950, namanya diganti menjadi Universiteit Indonesia, dan mulai tahun 1954 menjadi Universitas Indonesia.
Indonesia Merdeka
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, yang kemudian dikukuhkan dengan UU No. 12 Tahun 1954 tentang Pemberlakuan UU No. 4 Tahun 1950. Pemerintah mendorong kalangan swasta untuk berpartisipasi membangun bangsa. “Kemerdekaan mendirikan sekolah-sekolah partikulir leluasa sekali, dan tiap-tiap golongan penganut-penganut suatu aliran dapat mendirikan sekolah-sekolah partikulir, sedang Pemerintah bersedia memberi sokongan”. Sejak tahun 1951 lembaga pendidikan swasta bermunculan, yang didirikan oleh Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Taman Siswa, Kristen Protestan, Katolik, dan lain-lain. Pada waktu itu Pemerintah mendorong partisipasi swasta, dan relatif sangat sedikit mengatur sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi.
Selanjutnya, pada dasawarsa 1960-an Pemerintah mulai menata pendidikan tinggi melalui penerbitan Undang-Undang No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk: (1) universitas; (2) institut; (3) sekolah tinggi; (4) akademi; (5) bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah mulai memberikan “pengakuan” atas eksistensi perguruan-perguruan tinggi swasta. Apabila kualitasnya dipandang bagus maka diberikan “status disamakan” dengan perguruan tinggi negeri.
Pemerintah Orde Baru melanjutkan penataan. Setelah gejolak gerakan mahasiswa awal tahun 1978, pada tahun itu juga Pemerintah menetapkan kebijakan “Normalisasi Kehidupan Kampus”. Sejak itu Pemerintah lebih mengatur pengelolaan perguruan tinggi dalam berbagai hal. Pada pertengahan dasawarsa 1980-an dilakukan perubahan sistem studi menjadi Sistem Kredit Semester (SKS), dan dari dua strata menjadi tiga strata. Sementara itu, perkembangan ekonomi yang pesat membuat Pemerintah mendorong pendirian perguruan-perguruan tinggi swasta untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja.
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional antara lain menegaskan pengelolaan pendidikan secara terpusat (sentralisasi), dengan pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan dilakukan secara tidak terpusat (desentralisasi). Sementara itu, pada waktu itu telah muncul kesadaran tentang globalisasi, “link and match” antara pendidikan dan dunia kerja, dan pemanfaatan teknologi informasi-komunikasi secara masif.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memperkenalkan “kurikulum berbasis kompetensi”. Sementara itu, sistem penjaminan mutu internal dan akreditasi digalakkan. UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi memberikan keleluasaan kepada perguruan tinggi swasta untuk mengatur organisasinya, sesuai peraturan perundang-undangan. Adapun di seluruh dunia pembelajaran secara daring (online) menantang pembelajaran secara luring (offline). Belakangan ini di Indonesia muncul kesadaran tentang outcome-based education, yang memerlukan perubahan paradigma para pendidik untuk mewujudkannya. Terakhir, Mas Mendikbud menggemakan semangat “Merdeka Belajar” dan “Kampus Merdeka”, yang memerlukan langkah-langkah serius untuk mewujudkannya secara nyata.
Syukur atas perjalanan seabad pendidikan tinggi Indonesia. Mari kita melanjutkan perjalanannya, dengan banyak belajar termasuk dari pengalaman dan pemikiran negeri-negeri lain dalam memajukan pendidikan tinggi. ***(PX)
P. Krismastono Soediro, bekerja untuk Yayasan Universitas Katolik Parahyangan, penulis sejumlah buku populer.
Sumber foto utama: Soekarno, 1963, Di Bawah Bendera Revolusi
Artikel ini dimuat pada Majalah Parahyangan Vol. VII No. 2 / 2020 / Apr - Jun