“Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.” Begitu rangkaian peribahasa yang kita dengar turun-temurun tentang ‘apa yang tersisa’ setelah kematian menjemput kita. Peribahasa ini menyiratkan makna tentang bagaimana sebuah keluarga yang ditinggalkan mengenang anggota keluarganya yang telah meninggal. Tradisi Sunda, seperti diceritakan Hasan Mustapa (2010:173dst) memiliki rangkaian upacara mengenang seseorang yang telah tiada.
“Masih berada di antara kita”
Masyarakat Sunda yang masih memegang tradisi meyakini arwah orang yang telah meninggal masih berada di sekitar keluarga yang ditinggalkan. Keyakinan ini juga menceritakan bahwa arwah tersebut masih berkegiatan seperti biasanya di rumah, termasuk masih ikut makan di keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena alasan ini, upacara peringatan almarhum/ah tidak disebut ngarewahkeun, demikian catatan dari Hasan Mustapa (2010: 264, catatan kaki no. 183).
Peringatan wafatnya almarhum/ah pada hari pertama setelah pemakaman berlangsung, dalam tradisi Sunda, disebut Nyusur Tanah. ‘Nyusur tanah’ secara harfiah berarti ‘memindahkan tanah’ atau menggali liang kubur. Upacara tersebut dimulai dengan menyiapkan air seruas bambu, nasi dan ayam bakakak (lih. “Nilai-nilai Tradisional” dalam https://desa-bunigeulis.kuningankab.go.id/legenda-desa-nilai-nilai-tradisional/nilai-nilai-tradisional). Setelah pemakaman selesai, keluarga dan handai taulan melanjutkan upacara ‘Nyusur Tanah’ pada hari pertama ini dengan tahlilan. Doa bersama pada hari pertama setelah almarhum/ah dimakamkan ini secara implisit mengungkapkan ‘kehadiran’ almarhum/ah di tengah keluarga yang ditinggalkan.
‘Kehadiran’ almarhum/ah di tengah keluarga ini ditandai dengan tersedianya makanan kesukaan almarhum/ah. Keluarga juga menyiapkan alat-alat makan yang biasa digunakan almarhum/ah. Selain itu, keluarga membakar kemenyan di tempat meninggalnya almarhum/ah (Mustapa 2010:173-174). Tradisi menyediakan peralatan makan, makanan kesukaan, dan membakar kemenyan tersebut berlangsung sampai hari ketiga (atau sampai hari ketujuh) setelah pemakaman, atau upacara ‘katiluna’ (jika sampai hari ketujuh, disebut ‘katujuhna’; lih. jg. “Nilai-nilai Tradisional”).
Sementara itu, keluarga menyelenggarakan doa tahlilan selama 7 hari. Setelah itu, keluarga akan mengadakan doa tahlilan lagi pada hari ke-40 (matang puluh); hari ke-50 (niket) peringatan ke-100 hari atau ‘natus’. Berikutnya ialah tahlilan untuk mengenang setahun pada bulan wafatnya almarhum (mendak bulan), dua tahun (mendak taun), dan 1.000 hari, atau disebut ‘newu. (lih. “Nilai-Nilai Tradisional”) Tahlilan dihadiri juga oleh kenalan, handai tolan, warga sekitar keluarga yang ditinggalkan. Penyelenggaraan doa Tahlilan pada rangkaian upacara kematian menunjukkan bahwa peristiwa kematian mendiang justru mengumpulkan keluarga, kerabat dan handai tolan. Kematian bukanlah perpisahan mengingat mendiang tetap hadir bersama keluarga, kerabat dan handai tolan yang berkumpul untuk mengenang jasa dan kebaikannya.
Menarik catatan yang diberikan Hasan Mustapa pada apa yang dilakukan orang-orang dalam upacara mulai dari ‘Nyusur Tanah’ sampai penyelenggaraan rangkaian peringatan tahlilan secara berkala. Hasan Mustapa mengingatkan bahwa simbol, lambang/tanda, tindakan dalam upacara (gerakan atau gesture) menjadi bukan hanya untuk dilaksanakan begitu saja, atau merupakan hiasan belaka (2010:175). Semua simbol dan tanda digunakan, tindakan (gesture) dilakukan, upacara dirayakan merupakan hal yang menjalin solidaritas bagi keluarga yang ditinggalkan, juga bagi handai tolan, kerabat, kenalan yang hadir.
Sedekah dalam rangkaian doa Peringatan
Hal menonjol lain dalam upacara peringatan kematian ialah tradisi memberikan sedekah. Sejak hari pertama perayaan (Nyusur Tanah) mengenang almarhum/ah sudah ada sedekah diberikan kepada mereka yang membutuhkan di sekitar keluarga yang ditinggalkan. Besar/kecilnya sedekah memang bisa disesuaikan dengan upacara pada hari kesekian. Biasanya sedekah besar diberikan pada hari keempat, hari ketujuh menjelang hari kedelapan, dan hari keempat puluh. Sedekah besar berikutnya diberikan pada hari keseratus (natus), dan sedekah hari keseribu (newu) (Mustapa 2010:173-174). Sementara itu, pada rangkaian hari-hari peringatan yang lainnya, seperti hari kedua, keempat sampai keenam, niket, mendak bulan, mendak taun, keluarga membagi sedekah biasa/kecil.
Beberapa sedekah peringatan kematian diberi nama khusus. Sedekah pada hari pertama peringatan disebut sedekah nyusur tanah. Keluarga membagikan berupa sajian lengkap: nasi dan lauk pauknya yang dibawa dalam ‘tetenong’ (wadah makanan yang terbuat dari bambu--penerj, lih Mustapa 2010:265, catatan kaki no. 184, ). Bahkan ada juga keluarga yang memberikan piring dan cangkir dalam ‘tetenong’ yang dibagikan. Sedekah khusus lainnya ialah ngabanyu mili. Sedekah ini berupa kudapan dan minuman, termasuk juga yang menjadi kesukaan almarhum/ah. Sedekah ngabanyu mili disediakan dan dibagikan pada hari ketiga. Pada hari ini juga, biasanya keluarga akan mengumpulkan pakaian almarhum/ah. Keluarga akan membagikan pakaian yang terkumpul ini sebagai sedekah di hari keempat puluh (yang biasanya dilakukan pada 4 sampai 5 hari setelah hari keempat puluh). Selain itu, Hasan Mustapa pun menyebutkan sedekah kiparat atau kipayah, yaitu sedekah (semacam denda) untuk menghapus dosa-dosa almarhum/ah (2010:176). Sedekah kipayah juga diikuti dengan pelunasan hutang-hutang almarhum/ah.
Sedekah dan solidaritas
Sedekah dalam ajaran Islam termasuk dalam kategori hukum sunnah. Walaupun tidak bersifat mengikat atau wajib diikuti, Hasan Mustapa kerap kali menganjurkan pembagian sedekah dari mereka yang mampu kepada mereka yang kurang. Anjuran tersebut muncul dalam setiap upacara dalam lingkaran hidup manusia. Hal ini menunjukkan bahwa penghayatan solidaritas di antara orang Sunda. Solidaritas merupakan wujud konkret dari nilai silih: asah, asih, dan asuh. Solidaritas juga menunjukkan bagaimana masyarakat Sunda memelihara dan menjaga kohesi sosial dalam dinamika hidup bersama.
Dengan demikian, keluarga membagikan sedekah pada rangkaian upacara peringatan kematian tidak hanya bertujuan agar orang-orang di sekitar almarhum/ah turut mengenang jasa dan kebaikannya. Pembagian sedekah merupakan ajakan untuk tetap memelihara dan mengembangkan solidaritas antarwarga, siapa pun dia. Dengan kata lain, warisan terbesar dari mendiang ialah ajakan membangun kohesi sosial yang tidak terbatas pada lingkup kekerabatan. Ini dapat disimpulkan dari argumen bahwa sedekah sebagai salah satu kategori Sunnah dalam Rukun Islam merupakan pemberian yang melampaui batas-batas primordial.
Orang dapat saja menilai solidaritas sebagai bentuk realisasi peran sosial dalam masyarakat komunal. Penilaian seperti ini dapat dibenarkan sejauh peran tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota dalam ikatan primordial. Sementara itu, sedekah yang dianjurkan Hasan Mustapa dalam upacara kematian ini justru melampaui ikatan primordial tersebut. Sedekah diberikan tanpa harus mensyaratkan ikatan primordial. Sedekah dalam pemaparan Hasan Mustapa justru menunjukkan kualitas manusia yang ‘sampurna’. Kualitas manusia ‘sampurna’ ialah welas asih, murah hati, memberi tanpa batas dan tanpa balas.***
Referensi:
Mustapa, Hasan, Adat Istiadat Sunda, penerj. M. Maryati Sastrawijaya, Bandung: Penerbit Alumni, 2010.
“Nilai-nilai Tradisional” dalam. https://desa-bunigeulis.kuningankab.go.id/legenda-desa-nilai-nilai-tradisional/nilai-nilai-tradisional
Dr. Stephanus Djunatan, Kepala Program Studi Sarjana Ilmu Filsafat, Ketua Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan.
Sumber gambar utama: okezone.com
Artikel ini dimuat pada Majalah Parahyangan Vol. IX No. 2 / 2022 / Apr - Jun